Minggu, 20 Juli 2014

HUBUNGAN AGAMA DENGAN STRATIFIKASI SOSIAL

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Agama sebagimana dikatakan oleh ahli sosiolog merupakan suatu pandangan hidup yang harus diterapkan dalam kehidupan individu ataupun kelompok. Keduanya mempunyai hubungan saling mempengaruhi dan saling bergantung dengan semua faktor yang ikut membentuk struktur sosial di masyarakat mana pun. Sedang diposisi lain manusia yang hidup secara berkelompok akan banyak sekali permasalahan-permasalahan ataupun gejala-gejala sosial yang timbul dalam keseharianya. Salah satunya ialah munculnya sesuatu yang dihargainya, selama manusia masih mempunyai sesuatu yang dihargainya dan sesutu yang dihargainya tersebut mutlak dimiliki oleh masyarakt, maka sistem pelapisan masyarakat akan muncul. Inilah salah satu bibit dimana munculnya stratifikasi sosial dimasyarakat.[1]
Lebih lanjut, dijelaskan sistem berlapis-lapis dalam suatu masyarakat, dalam sosiologi dikenal dengan istilah social stratisfication (stratifikasi sosial). Kata stratisfication berasal dari stratum (jamaknya: strata yang berarti lapisan). Mengenai istilah ini, Soekanto mengutip Pitirim A. Sorokin dalam menjelaskan definisinya. Di mana disebutkan bahwa yang dimaksud dengan social stratisfication adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (secara hirarkis).[2]
            Dalam masyarakat Indonesia ternyata terdapat stratifikasi atau tingkatan dalam keagamaan. Dalam sebuah agama saja antara umat satu dengan umat lainnya diuangap memiliki tingkatan atau kedudukan sosial yang berbeda dengan umat yang lainnya, padahal mereka menganut agama yang sama. Inilah yang akan coba kita angkat pada pembahasan kali ini disamping tetap mempertimbangkan prosedur pembuatan makalah yang telah ditetapkan oleh dosen pengampu, kiranya pembahasan ini juga menarik untuk dikaji karena dalam realitanya kita juga sering menemukan hal-hal senacam ini.
  
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pandangan agama dalam sosiologi?
2.      Bagaimana konsep stratifikasi sosial?
3.      Bagaimana hubungan antara agama dan stratifikasi social?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pandangan agama dalam sosiologi
2.      Untuk mengetahui konsep stratifikasi social
3.      Untuk mengetahui hubungan antara agama dan stratifikasi sosial
  

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Agama Dan Pandangan Sosiologi
Dalam kajian sosiologis agama diartikan sebagai gejala sosial yang umum dan dimiliki oleh seluruh masyarakat yang ada di dunia ini, tanpa terkecuali. Ia merupakan salah satu aspek dalam kehidupan sosial dan bagian dari sistem sosial suatu masyarakat. Agama juga bisa dilihat sebagai unsur dari kebudayaan suatu masyarakat disamping unsur-unsur lainnya. Meskipun agama berkaitan dengan berbagai kewajiban, ketundukan, dan kepatuhan, tetapi tidak setiap ketaatan itu bisa disebut agama, bergantung pada siapa ketaatan itu diperuntukkan dan atas dasar motivasi apa ketaatan itu dilaksanakan. Ketaatan dan kepatuhan pihak yang kalah perang kepada pihak yang menang perang, ketaatan rakyat terhadap pemimpinnya tidak bisa disebut agama dalam kacamata keilmuan. Berdasarkan hasil studi para ahli sosisologi, dapat diketahui bahwa agama merupakan suatu pandangan hidup yang harus diterapkan dalam kehidupan individu ataupun kelompok. Keduanya mempunyai hubungan saling mempengaruhi dan saling bergantung dengan semua faktor yang ikut membentuk struktur sosial di masyarakat mana pun.
Ada empat unsur agama yaitu:
a.       Pengakuan bahwa ada kekuatan gaib yang menguasai atau mempengaruhi kehidupan manusia.
b.      Keyakinan bahwa keselamatan hidup manusia tergantung pada adanya hubungan baik antara manuasia dan kekuatan gaib itu.
c.       Sikap emosional pada hati manusia terdapat kekuatan gaib itu, seperti sikap takut, hormat, cinta, penuh harapan, pasrah.
d.      Tingkah laku tertentu yang dapat diamati seperti sholat, doa, puasa, suka menolong, tidak korupsi
B.     Pengertian Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial merupakan pembedaan masyarakat ke dalam kelas yang tersusun secara bertingkat. Stratifikasi sosial juga sering disebut sebagai pelapisan sosial. Pelapisan sosial terjadi karena ada sesuatu yang dihargai lebih atas penilaian kelompok, seperti kekayaan, kekuasaan, keturunan (kehormatan) dan ilmu pengetahuan (pendidikan). Stratifikasi sosial juga dapat dianggap sebagai pembedaan sosial yang bersifat vertikal karena adanya pelapisan ke dalam kelas-kelas tertentu yang dianggap lebih tinggi.
Pada prinsipnya kelas adalah penggolongan manusia yang tidak terang batas-batasnya dan hanya memperlihatkan sifat golongan. Sebenarnya apabila diperiksa sungguh-sungguh, maka ternyata banyak sekali kelas dan gaya hidup yang terdapat dalam masyarakat.[3]
Selo Soemardjan (1964), seorang tokoh sosiologi Indonesia, menyatakan bahwa hal yang mewujudkan unsur-unsur dalam teorisosiologi tentang sistem berlapis lapis dalam masyarakat, adalah kedudukan (status) dan peranan (role) ; kedudukan dan peranan ini kecuali merupakan unsur-unsur baku dalam sistem berlapis-lapis, juga mempunyai arti yang penting bagi sistem sosial masyarakat; Ralph Linton (1967) mengartikan sistem sosial itu sebagai pola-pola yang mengatur hubungan timbal balik antar individu dalam masyarakat dan antar individu dengan masyarakatnya, dan tingkah laku individu-individu tersebut. Dalam hubungan-hubungan timbal balik tersebut, kedudukan dan peranan individu mempunyai arti yang penting, karena keberlangsungan hidup masyarakat tergantung daripada keseimbangan kepentingan kepentingan individu termaksud.[4] Dalam teori sosiologi, unsur-unsur sistem stratifikasi sosial dalam masyarakat adalah:
1)      Kedudukan (status)
Kedudukan (status) sering kali dibedakan dengan kedudukan sosial (social status). Kedudukan adalah sebagai tempat  atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial. Status seseorang biasanya mempunyai dua aspek yaitu :
a)      Aspek struktural, ialah status yang ditunjukkan oleh adanya atau susunan lapisan sosial dari atas kebawah. Aspek ini sifatnya lebih stabil dibandingkan dengan fungsional.
b)      Aspek fungsional, disebut juga peranan sosial yang terdiri dari kewajiban atau keharusan yang harus dilakukan seseorang karena kedudukannya didalam status tertentu.
Dalam masyarakat, sekurangnya ada tiga macam kedudukan, yaitu :
a.        Ascribed status, yaitu kedudukan seseorang yang akan didapat dengan sendirinya. Misalnya golongan berdasar jenis kelamin, tingkat umur dan sebagainya. Atau dengan kata lain : seseorang dapat mencapai status secara ascrib, karena ia dilahirkan dalam golongan tertentu, misalnya seorang anak raja.
b.      Achievel status, yaitu kedudukan seseorang yang didapat dengan cara berusaha atau berjuang, mislanya sebagai pemimpin parpol, guru, dosen dan lain sebagainya. Boleh juga misalnya seorang buruh berjuang menjadi majikan, guru SD berjuang menjadi profesor dan sebagainya
c.       Assigned Status, yaitu kedudukan yang diberikan karena alasan-alasan tertentu; dalam arti bahwa suatu kelompok, golongan, atau masyarakat memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada seseorang yang dianggap berjasa, yang telah memperjuangkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Akan tetapi kadang-kadang kedudukan tersebut diberikan, karena seseorang telah lama menduduki suatu jabatan tertentu, seperti di pedesaan ada istilah ‘lurah hormat’ adalah satu gelar yang diberikan kepada seorang mantan pemuka desa yang dianggap sangat berjasa atas kemajuan desanya. Kedudukan yang diberikan ini diwujudkan dalam bentuk penghormatan gelar tertentu seperti ‘datuk’ pada masyarakat Sumatera Barat, ‘sir’ pada masyarakat Inggris, atau ‘andi’ pada masyarakat Makasar; Individu-individu yang mendapatkan kedudukan ini tidak dibebankan atas kewajiban-kewajiban menurut kedudukannya, namun mereka sedikitnya mendapakan fasilitas-fasilitas khusus yang tidak diberikan pada orang kebanyakan, di samping itu kedudukan ini tidak terbatas diberikan kepada anggota-anggota masyarakat yang bersangkutan, tetapi bisa juga kepada orang luar masyarakat tersebut.[5]
4.        Peranan (role)
Peranan (role) merupakan aspek dinamis dari kedudukan, dimana apabila seseorang melaksanakan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka orang itu telah menjalankan suatu peran. Peranan dan kedudukan itu saling melengkapi, kedua-duanya tidak dapat dipisahkan, oleh karena yang satu tergantung pada yang lain dan demikian sebaliknya. Yang membedakan dari keduanya adalah menyangkut proses, harus ada kedudukan terlebih dahulu baru kemudian ada peranan, keadaan ini tidak bisa terbalik.[6]
Status seseorang individu dalam masyarakat dapat dilihat dari dua aspek, yakni:
a.       Aspek statis, yaitu kedudukan dan derajat seseorang didalam suatu kelompok yang dapat dibedakan dengan derajat atau kedudukan individu lainya. Seperti petani dapat dibedakan dengan nelayan, PNS dengan pedagang dan lain sebagainya.
b.      Aspek Dinamis, yaitu berhubungan erat dengan peranan sosial tertentu yang berhubungan dengan pengertian jabatan, fungsi dan tingkah laku yang formal serta jasa yang diharapkan dari fungsi dan jabatan tersebut. Contoh : direktur perusahaan, pimpinan sekolah, dan lain sebagainya.[7]
a)      Sifat stratifikasi sosial
Ø  Stratifikasi terbuka
Anggota kelompok yang satu ada kemungkinan besar untuk berpindah ke kelompok yang lain, artinya dapat menurun ke kelompok yang lebih rendah atau sebaliknya. Contoh, kedudukan presiden dan menteri. Anak-anak presiden dan menteri belum tentu dapat mencapai kedudukan sebagai presiden atau menteri. Tetapi sebaliknya warga masyarakat pada umumnya ada kemungkinan dapat memiliki kedudukan seperti tersebut diatas.
Ø  Stratifikasi tertutup
Kemungkinan pindah seseorang anggota kelompok dari golongan yang satu ke golongan yang lain kemungkinya sanagat kecil sekali, sebab biasanya sistem ini didasarkan atas keturunan. Jadi misalnya anak habaib jadi penerusnya. Dengan sendirinya akan tetap menjadi golongan habaib dan sebaliknya golongan masyarakat biasa.
Ditinjau dari segi psikologis kedua kelompok ini mempunyai kebaikan dan keburukan masing-masing. Stratifikasi terbuka itu lebih dinamis (progresif) dan anggota-anggota mempunyai cita-cita hidup yang lebih tinggi. Sedang stratifikasi tertutup bersifat statis, lebih-lebih golongan bawah dan kurang menunjukkan cita-cita yang tinggi. Adapun kelemahan stratifikasi terbuka ialah bahwa anggota-anggotanya mengalami kehiduapan yang selalu tegang dan khawatir. Sehingga akibatnya lebih banyak menaglami ketegangan dan konflik-konflik jiwa lebih besar daripada kelompok tertutup.
Maka dari itu orangtua pasti selalu berusaha supaya penghidupan dan kehidupan anak-anaknya masuk dalam tingkat golongannya, jika perlu bahkan diatasnya. Sebab jika tidak demikian penghidupan dan kehidupan mereka pasti akan turun dan akhirnya turun pulalah status dan peranan mereka.[8]
b)      Penentuan Strata
Dari apa yang sudah diuraikan diatas, akhirnya kita dapat menentukan dan menyebutkan ukuran atau kriteria yang biasanya dipakai untuk menggolongkan anggota masyarakat kedalam lapisan-lapisan sosial ialah sebagai berikut:
a.       Ukuran kekayaan : ukuran kekayaan (kebendaan) dapat dijadikan sebagai ukuran : barangsiapa yang mempunyai kekayaan paling banyak, termasuk dalam lapisan sosial teratas. Kenyataan tersebut misalnya berupa mobil pribadinya, cara-cara mempergunakan pakaian serta bahan pakaian yang dipakainya, kebiasaan untuk belanja barang mahal dan sebagainya.
b.      Ukuran kekuasaan : barangsiapa yang memiliki kekuasaan atau mempunyai wewenang terbesar, menepati lapisan sosial teratas.
c.       Ukuran kehormatan : ukuran kehormatan mungkin terlepas dari ukuran-ukuran diatas tersebut, orang yang paling disegani dan dihormati, mendapat atau menduduki lapisan sosial teratas. Ukuran semacam ini banyak dijumpai dalam masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua ataumereka yang bpernah berjasa besar kepada masyarakat.
d.      Ukuran ilmu pengetahuan : ilmu pengetahuan dipakai ukuran oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Ukuran ini kadang-kadang menjadi negatif; karena ternyata bahwa bukan ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran, akan tetapi gelar sarjananya. Sudah tentu hal ini mengakibatkan segala macam usaha untuk mendapatkan gelar tersebut walaupun secara tidak halal.

C.    Agama Dan Stratifikasi Sosial
Agama dan pelapisan sosial adalah dua hal yang berbeda. Namun agama dan masyarakat adalah dua unsur yang saling mempengaruhi satu sama lain. Agama di definisikan sebagai sistem kepercayaan yang di dalamnya meliputi aspek-aspek hukum, moral, budaya dan sebagainya. Sedangkan lapisan sosial dipahami sebagai strata orang-orang yang berkedudukan sama dalam rangkaian status sosial. Memang tidak mudah untuk dapat menentukan jumlah kelas sosial yang ada di masyarakat. Namun beberapa ahli menyimpulkan bahwa ada enam pembagian kelas sosial di masyarakat, yaitu: upper-upper class, lower-upper class, upper-middle class, lower-middle class, upper-lower class, dan lower-lower class. Klasifikasi di atas tentu tidak berlaku secara umum di semua masyarakat. Sebab setiap kota ataupun desa masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda.
Manusia sering tidak sengaja dan tanpa sadar mengklasifikasikan orang lain ke dalam suatu kelas sosial, dan yang paling sering dijadikan patokan adalah status ia sendiri sebagai anggota masyarakat. Misalnya menialai seseorang sederajat, lebih tinggi atau lebih rendah darinya.Selain itu sejumlah orang menganggap orang-orang tertentu memiliki karakteristik perilaku tertentu yang pada gilirannya menciptakan kelas sosial.
Di Amerika sekalipun yang sering dijadikan contoh Negara paling demokratis, hubungan antara agama dan kelas sosial tetap signifikan.Maksudnya karena tidak ada gereja Negara sebagai pemersatu agama mudah merembes ke dalam kelas-kelas sosial, sebagaimana dikemukakan Demmerath bahwa kegerejaan mencerminkan pengaruh sosial.Lebih lanjut dia memberi contoh bahwa agama di Amerika, khususnya Protetanisme secara umum dilihat sebagai kegiatan masyarakat kelas atas atau menengah.Terdapat tiga indikator yang mendukung pernyataan diatas, yaitu keanggotaan gereja, kehadiran dalam acara peribadatan gereja, dan keikutsertaan dalam kegiatan-kegiatan resmi gereja.Dalam setiap unsur tadi, orang-orang yang berstatus tinggi tampaknya lebih dalam keterlibatannya daripada yang berstatus rendah.
           Hubungan lain dari agama dan stratifikasi sosial adalah konversi, atau beralih agama., dari agama tertentu kepada agama lain. Ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang pindah agama, antara lain faktor ekonomi dan lingkungan sosial. Ernest Troeltsch mengungkapkan bahwa sebagian besar yang beralih ke agama Kristen berasal dari kelas menengah bawah yang hidup di kota-kota besar, yang menikmati peningkatan ekonomi yang terjadi secara lamban pada waktu itu.


BAB III
PENUTUP

v  KESIMPULAN
            Berdasarkan hasil studi para ahli sosisologi, dapat diketahui bahwa agama merupakan suatu pandangan hidup yang harus diterapkan dalam kehidupan individu ataupun kelompok. Keduanya mempunyai hubungan saling mempengaruhi dan saling bergantung dengan semua faktor yang ikut membentuk struktur sosial di masyarakat manapun.
            Selo Soemardjan (1964), seorang tokoh sosiologi Indonesia, menyatakan bahwa hal yang mewujudkan unsur-unsur dalam teorisosiologi tentang sistem berlapis lapis dalam masyarakat, adalah kedudukan (status) dan peranan (role) ; kedudukan dan peranan ini kecuali merupakan unsur-unsur baku dalam sistem berlapis-lapis, juga mempunyai arti yang penting bagi sistem sosial masyarakat; Ralph Linton (1967) mengartikan sistem sosial itu sebagai pola-pola yang mengatur hubungan timbal balik antar individu dalam masyarakat dan antar individu dengan masyarakatnya, dan tingkah laku individu-individu tersebut. Dalam hubungan-hubungan timbal balik tersebut, kedudukan dan peranan individu mempunyai arti yang penting, karena keberlangsungan hidup masyarakat tergantung dari pada keseimbangan kepentingan kepentingan individu termaksud.
            Agama dan masyarakat adalah dua unsur yang saling mempengaruhi satu sama lain. Agama di definisikan sebagai sistem kepercayaan yang di dalamnya meliputi aspek-aspek hukum, moral, budaya dan sebagainya. Sedangkan lapisan sosial dipahami sebagai strata orang-orang yang berkedudukan sama dalam rangkaian status sosial.



DAFTAR PUSTAKA

Soekanto, Soerjono, Sosiologi; Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 1987.
Hartomo dan arnicun aziz, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta : PT Bumi Aksara, 2008.
Moeis, Syarif,struktur sosial : startifikasi sosial, Bandung Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI Bandung,2008.



[1] . Soerjono Soekanto, Sosiologi; Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 1987, hlm. 203
[2] . Ibid. Hlm. 204
[3] . Hartomo dan arnicun aziz, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta : PT Bumi Aksara, 2008. Hlm.201
[4] . Syarif Moeis judul struktur sosial : startifikasi sosial, Bandung Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI Bandung,2008. Hlm. 10
[5] .ibid hlm. 12
[6] . Ibid. Hlm. 13-14
[7] . Hartomo dan arnicun aziz, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta : PT Bumi Aksara, 2008. Hlm.155
[8] . ibid hlm. 202-203

Tidak ada komentar:

Posting Komentar