BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Agama sebagimana dikatakan oleh ahli
sosiolog merupakan suatu pandangan hidup yang harus diterapkan dalam kehidupan
individu ataupun kelompok. Keduanya mempunyai hubungan saling mempengaruhi dan
saling bergantung dengan semua faktor yang ikut membentuk struktur sosial di
masyarakat mana pun. Sedang diposisi lain manusia yang hidup secara berkelompok
akan banyak sekali permasalahan-permasalahan ataupun gejala-gejala sosial yang
timbul dalam keseharianya. Salah satunya ialah munculnya sesuatu yang
dihargainya, selama manusia masih mempunyai sesuatu yang dihargainya dan sesutu
yang dihargainya tersebut mutlak dimiliki oleh masyarakt, maka sistem pelapisan
masyarakat akan muncul. Inilah salah satu bibit dimana munculnya stratifikasi
sosial dimasyarakat.[1]
Lebih
lanjut, dijelaskan sistem berlapis-lapis dalam suatu masyarakat, dalam
sosiologi dikenal dengan istilah social
stratisfication (stratifikasi sosial). Kata stratisfication berasal dari stratum
(jamaknya: strata yang berarti lapisan). Mengenai istilah ini, Soekanto
mengutip Pitirim A. Sorokin dalam menjelaskan definisinya. Di mana disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan social
stratisfication adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam
kelas-kelas secara bertingkat (secara hirarkis).[2]
Dalam
masyarakat Indonesia ternyata terdapat stratifikasi atau tingkatan dalam
keagamaan. Dalam sebuah agama saja antara umat satu dengan umat lainnya
diuangap memiliki tingkatan atau kedudukan sosial yang berbeda dengan umat yang
lainnya, padahal mereka menganut agama yang sama. Inilah yang akan coba kita
angkat pada pembahasan kali ini disamping tetap mempertimbangkan prosedur
pembuatan makalah yang telah ditetapkan oleh dosen pengampu, kiranya pembahasan
ini juga menarik untuk dikaji karena dalam realitanya kita juga sering
menemukan hal-hal senacam ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
pandangan agama dalam sosiologi?
2.
Bagaimana
konsep stratifikasi sosial?
3.
Bagaimana
hubungan antara agama dan stratifikasi social?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pandangan agama dalam sosiologi
2.
Untuk
mengetahui konsep stratifikasi social
3.
Untuk
mengetahui hubungan antara agama dan stratifikasi sosial
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Agama Dan Pandangan Sosiologi
Dalam kajian sosiologis agama diartikan
sebagai gejala sosial yang umum dan dimiliki oleh seluruh masyarakat yang ada
di dunia ini, tanpa terkecuali. Ia
merupakan salah satu aspek dalam kehidupan sosial dan bagian dari sistem sosial
suatu masyarakat. Agama juga bisa dilihat sebagai unsur dari kebudayaan suatu
masyarakat disamping unsur-unsur lainnya. Meskipun agama berkaitan dengan
berbagai kewajiban, ketundukan, dan kepatuhan, tetapi tidak setiap ketaatan itu
bisa disebut agama, bergantung pada siapa ketaatan itu diperuntukkan dan atas
dasar motivasi apa ketaatan itu dilaksanakan. Ketaatan dan kepatuhan pihak yang
kalah perang kepada pihak yang menang perang, ketaatan rakyat terhadap
pemimpinnya tidak bisa disebut agama dalam kacamata keilmuan. Berdasarkan hasil
studi para ahli sosisologi, dapat diketahui bahwa agama merupakan suatu
pandangan hidup yang harus diterapkan dalam kehidupan individu ataupun
kelompok. Keduanya mempunyai hubungan saling mempengaruhi dan saling bergantung
dengan semua faktor yang ikut membentuk struktur sosial di masyarakat mana pun.
Ada empat unsur agama yaitu:
a.
Pengakuan bahwa ada kekuatan gaib yang menguasai atau mempengaruhi
kehidupan manusia.
b.
Keyakinan bahwa keselamatan hidup manusia tergantung pada adanya hubungan
baik antara manuasia dan kekuatan gaib itu.
c.
Sikap emosional pada hati manusia terdapat kekuatan
gaib itu, seperti sikap takut, hormat, cinta, penuh harapan, pasrah.
d.
Tingkah laku tertentu yang dapat diamati seperti sholat, doa, puasa, suka
menolong, tidak korupsi
B. Pengertian
Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial
merupakan pembedaan masyarakat ke dalam kelas yang tersusun secara bertingkat.
Stratifikasi sosial juga sering disebut sebagai pelapisan sosial. Pelapisan
sosial terjadi karena ada sesuatu yang dihargai lebih atas penilaian kelompok,
seperti kekayaan, kekuasaan, keturunan (kehormatan) dan ilmu pengetahuan
(pendidikan). Stratifikasi sosial juga dapat dianggap sebagai pembedaan sosial
yang bersifat vertikal karena adanya pelapisan ke dalam kelas-kelas tertentu yang
dianggap lebih tinggi.
Pada prinsipnya kelas adalah penggolongan manusia yang tidak terang
batas-batasnya dan hanya memperlihatkan sifat golongan. Sebenarnya apabila
diperiksa sungguh-sungguh, maka ternyata banyak sekali kelas dan gaya hidup
yang terdapat dalam masyarakat.[3]
Selo Soemardjan (1964), seorang tokoh sosiologi Indonesia,
menyatakan bahwa hal yang mewujudkan unsur-unsur dalam teorisosiologi tentang
sistem berlapis lapis dalam masyarakat, adalah kedudukan (status) dan
peranan (role) ; kedudukan dan peranan ini kecuali merupakan unsur-unsur
baku dalam sistem berlapis-lapis, juga mempunyai arti yang penting bagi sistem
sosial masyarakat; Ralph Linton (1967) mengartikan sistem sosial itu sebagai
pola-pola yang mengatur hubungan timbal balik antar individu dalam masyarakat
dan antar individu dengan masyarakatnya, dan tingkah laku individu-individu
tersebut. Dalam hubungan-hubungan timbal balik tersebut, kedudukan dan peranan
individu mempunyai arti yang penting, karena keberlangsungan hidup masyarakat
tergantung daripada keseimbangan kepentingan kepentingan individu termaksud.[4] Dalam teori sosiologi, unsur-unsur sistem stratifikasi sosial dalam masyarakat adalah:
1)
Kedudukan (status)
Kedudukan (status) sering kali dibedakan dengan kedudukan sosial
(social status). Kedudukan adalah sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial.
Status seseorang biasanya mempunyai dua aspek yaitu :
a)
Aspek
struktural, ialah status yang ditunjukkan oleh adanya atau susunan lapisan
sosial dari atas kebawah. Aspek ini sifatnya lebih stabil dibandingkan dengan
fungsional.
b)
Aspek
fungsional, disebut juga peranan sosial yang terdiri dari kewajiban atau
keharusan yang harus dilakukan seseorang karena kedudukannya didalam status
tertentu.
Dalam masyarakat, sekurangnya ada tiga macam kedudukan, yaitu :
a.
Ascribed status, yaitu kedudukan
seseorang yang akan didapat dengan sendirinya. Misalnya golongan berdasar jenis
kelamin, tingkat umur dan sebagainya. Atau dengan kata lain : seseorang dapat mencapai
status secara ascrib, karena ia dilahirkan dalam golongan tertentu, misalnya
seorang anak raja.
b.
Achievel
status, yaitu kedudukan seseorang yang
didapat dengan cara berusaha atau berjuang, mislanya sebagai pemimpin parpol,
guru, dosen dan lain sebagainya. Boleh juga misalnya seorang buruh berjuang
menjadi majikan, guru SD berjuang menjadi profesor dan sebagainya
c.
Assigned
Status, yaitu kedudukan yang diberikan
karena alasan-alasan tertentu; dalam arti bahwa suatu kelompok, golongan, atau
masyarakat memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada seseorang yang
dianggap berjasa, yang telah memperjuangkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan
dan kepentingan masyarakat. Akan tetapi kadang-kadang kedudukan tersebut
diberikan, karena seseorang telah lama menduduki suatu jabatan tertentu,
seperti di pedesaan ada istilah ‘lurah hormat’ adalah satu gelar yang diberikan
kepada seorang mantan pemuka desa yang dianggap sangat berjasa atas kemajuan
desanya. Kedudukan yang diberikan ini diwujudkan dalam bentuk penghormatan
gelar tertentu seperti ‘datuk’ pada masyarakat Sumatera Barat, ‘sir’
pada masyarakat Inggris, atau ‘andi’ pada masyarakat Makasar;
Individu-individu yang mendapatkan kedudukan ini tidak dibebankan atas
kewajiban-kewajiban menurut kedudukannya, namun mereka sedikitnya mendapakan
fasilitas-fasilitas khusus yang tidak diberikan pada orang kebanyakan, di
samping itu kedudukan ini tidak terbatas diberikan kepada anggota-anggota
masyarakat yang bersangkutan, tetapi bisa juga kepada orang luar masyarakat
tersebut.[5]
4.
Peranan (role)
Peranan (role) merupakan aspek dinamis dari kedudukan,
dimana apabila seseorang melaksanakan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya
sesuai dengan kedudukannya maka orang itu telah menjalankan suatu peran.
Peranan dan kedudukan itu saling melengkapi, kedua-duanya tidak dapat
dipisahkan, oleh karena yang satu tergantung pada yang lain dan demikian
sebaliknya. Yang membedakan dari keduanya adalah menyangkut proses, harus ada
kedudukan terlebih dahulu baru kemudian ada peranan, keadaan ini tidak bisa
terbalik.[6]
Status seseorang individu dalam masyarakat dapat dilihat dari dua
aspek, yakni:
a.
Aspek
statis, yaitu kedudukan dan derajat seseorang didalam suatu kelompok yang dapat
dibedakan dengan derajat atau kedudukan individu lainya. Seperti petani dapat
dibedakan dengan nelayan, PNS dengan pedagang dan lain sebagainya.
b.
Aspek
Dinamis, yaitu berhubungan erat dengan peranan sosial tertentu yang berhubungan
dengan pengertian jabatan, fungsi dan tingkah laku yang formal serta jasa yang
diharapkan dari fungsi dan jabatan tersebut. Contoh : direktur perusahaan,
pimpinan sekolah, dan lain sebagainya.[7]
a)
Sifat stratifikasi sosial
Ø
Stratifikasi terbuka
Anggota kelompok yang satu ada kemungkinan besar untuk berpindah ke
kelompok yang lain, artinya dapat menurun ke kelompok yang lebih rendah atau
sebaliknya. Contoh, kedudukan presiden dan menteri. Anak-anak presiden dan
menteri belum tentu dapat mencapai kedudukan sebagai presiden atau menteri.
Tetapi sebaliknya warga masyarakat pada umumnya ada kemungkinan dapat memiliki
kedudukan seperti tersebut diatas.
Ø
Stratifikasi tertutup
Kemungkinan
pindah seseorang anggota kelompok dari golongan yang satu ke golongan yang lain
kemungkinya sanagat kecil sekali, sebab biasanya sistem ini didasarkan atas
keturunan. Jadi misalnya anak habaib jadi penerusnya. Dengan sendirinya akan
tetap menjadi golongan habaib dan sebaliknya golongan masyarakat biasa.
Ditinjau dari
segi psikologis kedua kelompok ini mempunyai kebaikan dan keburukan
masing-masing. Stratifikasi terbuka itu lebih dinamis (progresif) dan
anggota-anggota mempunyai cita-cita hidup yang lebih tinggi. Sedang
stratifikasi tertutup bersifat statis, lebih-lebih golongan bawah dan kurang
menunjukkan cita-cita yang tinggi. Adapun kelemahan stratifikasi terbuka ialah
bahwa anggota-anggotanya mengalami kehiduapan yang selalu tegang dan khawatir.
Sehingga akibatnya lebih banyak menaglami ketegangan dan konflik-konflik jiwa
lebih besar daripada kelompok tertutup.
Maka dari itu
orangtua pasti selalu berusaha supaya penghidupan dan kehidupan anak-anaknya
masuk dalam tingkat golongannya, jika perlu bahkan diatasnya. Sebab jika tidak
demikian penghidupan dan kehidupan mereka pasti akan turun dan akhirnya turun
pulalah status dan peranan mereka.[8]
b)
Penentuan Strata
Dari apa yang sudah diuraikan diatas, akhirnya kita dapat
menentukan dan menyebutkan ukuran atau kriteria yang biasanya dipakai untuk
menggolongkan anggota masyarakat kedalam lapisan-lapisan sosial ialah sebagai
berikut:
a.
Ukuran
kekayaan : ukuran kekayaan (kebendaan) dapat dijadikan sebagai ukuran :
barangsiapa yang mempunyai kekayaan paling banyak, termasuk dalam lapisan
sosial teratas. Kenyataan tersebut misalnya berupa mobil pribadinya, cara-cara
mempergunakan pakaian serta bahan pakaian yang dipakainya, kebiasaan untuk
belanja barang mahal dan sebagainya.
b.
Ukuran
kekuasaan : barangsiapa yang memiliki kekuasaan atau mempunyai wewenang
terbesar, menepati lapisan sosial teratas.
c.
Ukuran
kehormatan : ukuran kehormatan mungkin terlepas dari ukuran-ukuran diatas
tersebut, orang yang paling disegani dan dihormati, mendapat atau menduduki
lapisan sosial teratas. Ukuran semacam ini banyak dijumpai dalam masyarakat
tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua ataumereka yang bpernah
berjasa besar kepada masyarakat.
d.
Ukuran ilmu pengetahuan : ilmu pengetahuan
dipakai ukuran oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Ukuran ini
kadang-kadang menjadi negatif; karena ternyata bahwa bukan ilmu pengetahuan
yang dijadikan ukuran, akan tetapi gelar sarjananya. Sudah tentu hal ini
mengakibatkan segala macam usaha untuk mendapatkan gelar tersebut walaupun
secara tidak halal.
C.
Agama Dan Stratifikasi Sosial
Agama dan
pelapisan sosial adalah dua hal yang berbeda. Namun agama dan masyarakat adalah
dua unsur yang saling mempengaruhi satu sama lain. Agama di definisikan sebagai
sistem kepercayaan yang di dalamnya meliputi aspek-aspek hukum, moral, budaya
dan sebagainya. Sedangkan lapisan sosial dipahami sebagai strata orang-orang
yang berkedudukan sama dalam rangkaian status sosial. Memang tidak mudah untuk
dapat menentukan jumlah kelas sosial yang ada di masyarakat. Namun beberapa
ahli menyimpulkan bahwa ada enam pembagian kelas sosial di masyarakat, yaitu:
upper-upper class, lower-upper class, upper-middle class, lower-middle class,
upper-lower class, dan lower-lower class. Klasifikasi di atas tentu tidak
berlaku secara umum di semua masyarakat. Sebab setiap kota ataupun desa
masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda.
Manusia sering
tidak sengaja dan tanpa sadar mengklasifikasikan orang lain ke dalam suatu
kelas sosial, dan yang paling sering dijadikan patokan adalah status ia sendiri
sebagai anggota masyarakat. Misalnya menialai seseorang sederajat, lebih tinggi
atau lebih rendah darinya.Selain itu sejumlah orang menganggap orang-orang
tertentu memiliki karakteristik perilaku tertentu yang pada gilirannya
menciptakan kelas sosial.
Di Amerika
sekalipun yang sering dijadikan contoh Negara paling demokratis, hubungan
antara agama dan kelas sosial tetap signifikan.Maksudnya karena tidak ada
gereja Negara sebagai pemersatu agama mudah merembes ke dalam kelas-kelas
sosial, sebagaimana dikemukakan Demmerath bahwa kegerejaan mencerminkan
pengaruh sosial.Lebih lanjut dia memberi contoh bahwa agama di Amerika, khususnya
Protetanisme secara umum dilihat sebagai kegiatan masyarakat kelas atas atau
menengah.Terdapat tiga indikator yang mendukung pernyataan diatas, yaitu
keanggotaan gereja, kehadiran dalam acara peribadatan gereja, dan keikutsertaan
dalam kegiatan-kegiatan resmi gereja.Dalam setiap unsur tadi, orang-orang yang
berstatus tinggi tampaknya lebih dalam keterlibatannya daripada yang berstatus
rendah.
Hubungan lain dari agama dan
stratifikasi sosial adalah konversi, atau beralih agama., dari agama tertentu
kepada agama lain. Ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang pindah agama,
antara lain faktor ekonomi dan lingkungan sosial. Ernest Troeltsch
mengungkapkan bahwa sebagian besar yang beralih ke agama Kristen berasal dari
kelas menengah bawah yang hidup di kota-kota besar, yang menikmati peningkatan
ekonomi yang terjadi secara lamban pada waktu itu.
BAB III
PENUTUP
v KESIMPULAN
Berdasarkan hasil
studi para ahli sosisologi, dapat diketahui bahwa agama merupakan suatu pandangan
hidup yang harus diterapkan dalam kehidupan individu ataupun kelompok. Keduanya
mempunyai hubungan saling mempengaruhi dan saling bergantung dengan semua
faktor yang ikut membentuk struktur sosial di masyarakat manapun.
Selo Soemardjan
(1964), seorang tokoh sosiologi Indonesia, menyatakan bahwa hal yang mewujudkan
unsur-unsur dalam teorisosiologi tentang sistem berlapis lapis dalam
masyarakat, adalah kedudukan (status) dan peranan (role) ;
kedudukan dan peranan ini kecuali merupakan unsur-unsur baku dalam sistem
berlapis-lapis, juga mempunyai arti yang penting bagi sistem sosial masyarakat;
Ralph Linton (1967) mengartikan sistem sosial itu sebagai pola-pola yang
mengatur hubungan timbal balik antar individu dalam masyarakat dan antar
individu dengan masyarakatnya, dan tingkah laku individu-individu tersebut.
Dalam hubungan-hubungan timbal balik tersebut, kedudukan dan peranan individu
mempunyai arti yang penting, karena keberlangsungan hidup masyarakat tergantung
dari pada keseimbangan kepentingan kepentingan individu termaksud.
Agama dan masyarakat adalah dua
unsur yang saling mempengaruhi satu sama lain. Agama di definisikan sebagai
sistem kepercayaan yang di dalamnya meliputi aspek-aspek hukum, moral, budaya
dan sebagainya. Sedangkan lapisan sosial dipahami sebagai strata orang-orang
yang berkedudukan sama dalam rangkaian status sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Soekanto, Soerjono, Sosiologi; Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 1987.
Hartomo dan arnicun aziz, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta : PT
Bumi Aksara, 2008.
Moeis, Syarif,struktur sosial : startifikasi sosial, Bandung
Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI Bandung,2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar