Shalat idain yaitu shalat idul akbar dan idul azghor. Dilaksanakan pada terbitnya matahari. dilakukan 2 rokaat. Setelah iftitah pada rokaat pertama 7 takbir dan rokaat yang kedua 5 takbir dan membaca tasbih (subhanallah wal hamdulillah walailahaillallah wallahuakbar).
Apa yang dimaksud idul akbar yaitu idul adha dan idul azghar yaitu idul fitri. Pelaksanaannya kebalikan dari shalat jumat. Yaitu shalat dulu baru khutbah.
Sebagian ulama' mengatakan dilakukan dilapangan, karena pada zaman rosul dahulu belum banyak masjid yang besar yang menampung orang banyak. Berbeda dengan saat ini yang kebanyakan masjid dapat menampung masyarakat banyak.
Zakat.
Takaran yang baik adalah 2,75 kg sebaiknya zakat itu makanan pokok yang ada didaerah tersebut.
Zakat fitrah adalah ibadah yang ditentukan waktu dan nishapnya. Dan ditentukan siapa yang berhak menerima yaitu ada 8 asnaf.
Waktu zakat yg terbaik adalah setelah buka puasa yang terahir dan sebelum berangkat shalat idul fitri.
Kalau ada orang yang lahir sebelum buka puasa yang terahir dia wajib zakat. Atau orang meninggal sebelum buka puasa yang terhir juga wajib zakat.
Ukuran orang yang zakat, ketika besok masih ada yang dimakan atau kekayaan lain yang dapat dijual dan memenui untuk zakat maka dia tetap wajib zakat.
SINAU
Kamis, 24 Juli 2014
Selasa, 22 Juli 2014
DOA NABI ADAM
Nabi Adam As. ketika dikeluarka dari surga. beliau beristighfar kepada Allah selama 40 tahun.
beliau nabi Adam As. mengucap:
beliau nabi Adam As. mengucap:
ربَّنا ظَلَمْنَآ انْفُنَا والَمْ تَغْفِرلَنَ وترحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ آلْخَسِرين
ya tuhan kami! kami telah menganiaya diri kami sendiri. dan jika beliau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang rugi.
bagaimanalah kita sebagai keturunan Nabi Adam As.
Minggu, 20 Juli 2014
ORGANISASI DAKWAH
ORGANISASI DAKWAH
Pengertiannya adalah suatu bentuk badan, yang didalamnya saling berkaitan satu dengan yang lainnya untuk membentuk suatu keutuhan dan tujuan yang sama dalam suatu perkumpulan. Yang mana didalam organisasi terdapat proses penetapan dan pembagian pekerjaan, dan tanggung jawab untuk melancarkan suatu kegiatan dakwah agar tepat sasran.
Dalam menjalankan organisasi dakwah tidaklah lepas dari sistem mempengaruhi orang lain dalam pengembangan kaderisasi atau penngembangan aggota, yang mana akan menjadi generasi penerus dari organisasi dan yang akan mengembangan keorganisasian dakwah terseabut secara kontinuitas sehingga keberlanjutan dari tujuan organisasi tidak terputus.
Contoh dari organisasi dakwah diantaranya adalah HTI, NU, Muhammadiyah, dan lembaga-lembaga pendidikan. Dalam organisasi tersebut didalamnya tersusun rapi.
3 ASPEK PENTING DALAM ORGANISASI DAKWAH
1. Aspek struktur keorganisasian
Untuk menjalankan organisasi sangat perlu dilakukan pembagian tugas dan wewenang dalam bentuk struktur bagan keorganisasian. Yang mana dari setiap bagan akan memiliki tugas yang terkonsentrasi tidak saling berbenturan dengan bagan yang lain. Sehingga organisasi ini akan terbentuk wujud yang kuat dan terarah sesuai tujuan dari organisasi.
2. Aspek tanggung jawab dan wewenang
Dalam menjalankan organisasi yang telah terbentuk dalam setruktur yang jelas, aspek tanggung jawab dan wewenang ini sangat menjadi hal yang urgen. Karena untuk terhidar dari penyakit organisasi yang dapat mematikan dari organisasi yang telah dibangun. Karena kadernya mulai lalai dari tanggung jawab dan wewenangnya dalam menjalamkan tugas-tugasnya.
3. Aspek hubungan anggota
Ini sangat berhubungan dengan keberlanjutan pengkaderan dari keorganisasian. Dan faktor kepemimpinan lebih mendominasi dalam menjaga komunikasi dengan anggota-anggotanya. Hal ini lebih berhubungan dengan kenyamanan anggota dalam menjalankan organisasi
HUBUNGAN AGAMA DENGAN STRATIFIKASI SOSIAL
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Agama sebagimana dikatakan oleh ahli
sosiolog merupakan suatu pandangan hidup yang harus diterapkan dalam kehidupan
individu ataupun kelompok. Keduanya mempunyai hubungan saling mempengaruhi dan
saling bergantung dengan semua faktor yang ikut membentuk struktur sosial di
masyarakat mana pun. Sedang diposisi lain manusia yang hidup secara berkelompok
akan banyak sekali permasalahan-permasalahan ataupun gejala-gejala sosial yang
timbul dalam keseharianya. Salah satunya ialah munculnya sesuatu yang
dihargainya, selama manusia masih mempunyai sesuatu yang dihargainya dan sesutu
yang dihargainya tersebut mutlak dimiliki oleh masyarakt, maka sistem pelapisan
masyarakat akan muncul. Inilah salah satu bibit dimana munculnya stratifikasi
sosial dimasyarakat.[1]
Lebih
lanjut, dijelaskan sistem berlapis-lapis dalam suatu masyarakat, dalam
sosiologi dikenal dengan istilah social
stratisfication (stratifikasi sosial). Kata stratisfication berasal dari stratum
(jamaknya: strata yang berarti lapisan). Mengenai istilah ini, Soekanto
mengutip Pitirim A. Sorokin dalam menjelaskan definisinya. Di mana disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan social
stratisfication adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam
kelas-kelas secara bertingkat (secara hirarkis).[2]
Dalam
masyarakat Indonesia ternyata terdapat stratifikasi atau tingkatan dalam
keagamaan. Dalam sebuah agama saja antara umat satu dengan umat lainnya
diuangap memiliki tingkatan atau kedudukan sosial yang berbeda dengan umat yang
lainnya, padahal mereka menganut agama yang sama. Inilah yang akan coba kita
angkat pada pembahasan kali ini disamping tetap mempertimbangkan prosedur
pembuatan makalah yang telah ditetapkan oleh dosen pengampu, kiranya pembahasan
ini juga menarik untuk dikaji karena dalam realitanya kita juga sering
menemukan hal-hal senacam ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
pandangan agama dalam sosiologi?
2.
Bagaimana
konsep stratifikasi sosial?
3.
Bagaimana
hubungan antara agama dan stratifikasi social?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pandangan agama dalam sosiologi
2.
Untuk
mengetahui konsep stratifikasi social
3.
Untuk
mengetahui hubungan antara agama dan stratifikasi sosial
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Agama Dan Pandangan Sosiologi
Dalam kajian sosiologis agama diartikan
sebagai gejala sosial yang umum dan dimiliki oleh seluruh masyarakat yang ada
di dunia ini, tanpa terkecuali. Ia
merupakan salah satu aspek dalam kehidupan sosial dan bagian dari sistem sosial
suatu masyarakat. Agama juga bisa dilihat sebagai unsur dari kebudayaan suatu
masyarakat disamping unsur-unsur lainnya. Meskipun agama berkaitan dengan
berbagai kewajiban, ketundukan, dan kepatuhan, tetapi tidak setiap ketaatan itu
bisa disebut agama, bergantung pada siapa ketaatan itu diperuntukkan dan atas
dasar motivasi apa ketaatan itu dilaksanakan. Ketaatan dan kepatuhan pihak yang
kalah perang kepada pihak yang menang perang, ketaatan rakyat terhadap
pemimpinnya tidak bisa disebut agama dalam kacamata keilmuan. Berdasarkan hasil
studi para ahli sosisologi, dapat diketahui bahwa agama merupakan suatu
pandangan hidup yang harus diterapkan dalam kehidupan individu ataupun
kelompok. Keduanya mempunyai hubungan saling mempengaruhi dan saling bergantung
dengan semua faktor yang ikut membentuk struktur sosial di masyarakat mana pun.
Ada empat unsur agama yaitu:
a.
Pengakuan bahwa ada kekuatan gaib yang menguasai atau mempengaruhi
kehidupan manusia.
b.
Keyakinan bahwa keselamatan hidup manusia tergantung pada adanya hubungan
baik antara manuasia dan kekuatan gaib itu.
c.
Sikap emosional pada hati manusia terdapat kekuatan
gaib itu, seperti sikap takut, hormat, cinta, penuh harapan, pasrah.
d.
Tingkah laku tertentu yang dapat diamati seperti sholat, doa, puasa, suka
menolong, tidak korupsi
B. Pengertian
Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial
merupakan pembedaan masyarakat ke dalam kelas yang tersusun secara bertingkat.
Stratifikasi sosial juga sering disebut sebagai pelapisan sosial. Pelapisan
sosial terjadi karena ada sesuatu yang dihargai lebih atas penilaian kelompok,
seperti kekayaan, kekuasaan, keturunan (kehormatan) dan ilmu pengetahuan
(pendidikan). Stratifikasi sosial juga dapat dianggap sebagai pembedaan sosial
yang bersifat vertikal karena adanya pelapisan ke dalam kelas-kelas tertentu yang
dianggap lebih tinggi.
Pada prinsipnya kelas adalah penggolongan manusia yang tidak terang
batas-batasnya dan hanya memperlihatkan sifat golongan. Sebenarnya apabila
diperiksa sungguh-sungguh, maka ternyata banyak sekali kelas dan gaya hidup
yang terdapat dalam masyarakat.[3]
Selo Soemardjan (1964), seorang tokoh sosiologi Indonesia,
menyatakan bahwa hal yang mewujudkan unsur-unsur dalam teorisosiologi tentang
sistem berlapis lapis dalam masyarakat, adalah kedudukan (status) dan
peranan (role) ; kedudukan dan peranan ini kecuali merupakan unsur-unsur
baku dalam sistem berlapis-lapis, juga mempunyai arti yang penting bagi sistem
sosial masyarakat; Ralph Linton (1967) mengartikan sistem sosial itu sebagai
pola-pola yang mengatur hubungan timbal balik antar individu dalam masyarakat
dan antar individu dengan masyarakatnya, dan tingkah laku individu-individu
tersebut. Dalam hubungan-hubungan timbal balik tersebut, kedudukan dan peranan
individu mempunyai arti yang penting, karena keberlangsungan hidup masyarakat
tergantung daripada keseimbangan kepentingan kepentingan individu termaksud.[4] Dalam teori sosiologi, unsur-unsur sistem stratifikasi sosial dalam masyarakat adalah:
1)
Kedudukan (status)
Kedudukan (status) sering kali dibedakan dengan kedudukan sosial
(social status). Kedudukan adalah sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial.
Status seseorang biasanya mempunyai dua aspek yaitu :
a)
Aspek
struktural, ialah status yang ditunjukkan oleh adanya atau susunan lapisan
sosial dari atas kebawah. Aspek ini sifatnya lebih stabil dibandingkan dengan
fungsional.
b)
Aspek
fungsional, disebut juga peranan sosial yang terdiri dari kewajiban atau
keharusan yang harus dilakukan seseorang karena kedudukannya didalam status
tertentu.
Dalam masyarakat, sekurangnya ada tiga macam kedudukan, yaitu :
a.
Ascribed status, yaitu kedudukan
seseorang yang akan didapat dengan sendirinya. Misalnya golongan berdasar jenis
kelamin, tingkat umur dan sebagainya. Atau dengan kata lain : seseorang dapat mencapai
status secara ascrib, karena ia dilahirkan dalam golongan tertentu, misalnya
seorang anak raja.
b.
Achievel
status, yaitu kedudukan seseorang yang
didapat dengan cara berusaha atau berjuang, mislanya sebagai pemimpin parpol,
guru, dosen dan lain sebagainya. Boleh juga misalnya seorang buruh berjuang
menjadi majikan, guru SD berjuang menjadi profesor dan sebagainya
c.
Assigned
Status, yaitu kedudukan yang diberikan
karena alasan-alasan tertentu; dalam arti bahwa suatu kelompok, golongan, atau
masyarakat memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada seseorang yang
dianggap berjasa, yang telah memperjuangkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan
dan kepentingan masyarakat. Akan tetapi kadang-kadang kedudukan tersebut
diberikan, karena seseorang telah lama menduduki suatu jabatan tertentu,
seperti di pedesaan ada istilah ‘lurah hormat’ adalah satu gelar yang diberikan
kepada seorang mantan pemuka desa yang dianggap sangat berjasa atas kemajuan
desanya. Kedudukan yang diberikan ini diwujudkan dalam bentuk penghormatan
gelar tertentu seperti ‘datuk’ pada masyarakat Sumatera Barat, ‘sir’
pada masyarakat Inggris, atau ‘andi’ pada masyarakat Makasar;
Individu-individu yang mendapatkan kedudukan ini tidak dibebankan atas
kewajiban-kewajiban menurut kedudukannya, namun mereka sedikitnya mendapakan
fasilitas-fasilitas khusus yang tidak diberikan pada orang kebanyakan, di
samping itu kedudukan ini tidak terbatas diberikan kepada anggota-anggota
masyarakat yang bersangkutan, tetapi bisa juga kepada orang luar masyarakat
tersebut.[5]
4.
Peranan (role)
Peranan (role) merupakan aspek dinamis dari kedudukan,
dimana apabila seseorang melaksanakan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya
sesuai dengan kedudukannya maka orang itu telah menjalankan suatu peran.
Peranan dan kedudukan itu saling melengkapi, kedua-duanya tidak dapat
dipisahkan, oleh karena yang satu tergantung pada yang lain dan demikian
sebaliknya. Yang membedakan dari keduanya adalah menyangkut proses, harus ada
kedudukan terlebih dahulu baru kemudian ada peranan, keadaan ini tidak bisa
terbalik.[6]
Status seseorang individu dalam masyarakat dapat dilihat dari dua
aspek, yakni:
a.
Aspek
statis, yaitu kedudukan dan derajat seseorang didalam suatu kelompok yang dapat
dibedakan dengan derajat atau kedudukan individu lainya. Seperti petani dapat
dibedakan dengan nelayan, PNS dengan pedagang dan lain sebagainya.
b.
Aspek
Dinamis, yaitu berhubungan erat dengan peranan sosial tertentu yang berhubungan
dengan pengertian jabatan, fungsi dan tingkah laku yang formal serta jasa yang
diharapkan dari fungsi dan jabatan tersebut. Contoh : direktur perusahaan,
pimpinan sekolah, dan lain sebagainya.[7]
a)
Sifat stratifikasi sosial
Ø
Stratifikasi terbuka
Anggota kelompok yang satu ada kemungkinan besar untuk berpindah ke
kelompok yang lain, artinya dapat menurun ke kelompok yang lebih rendah atau
sebaliknya. Contoh, kedudukan presiden dan menteri. Anak-anak presiden dan
menteri belum tentu dapat mencapai kedudukan sebagai presiden atau menteri.
Tetapi sebaliknya warga masyarakat pada umumnya ada kemungkinan dapat memiliki
kedudukan seperti tersebut diatas.
Ø
Stratifikasi tertutup
Kemungkinan
pindah seseorang anggota kelompok dari golongan yang satu ke golongan yang lain
kemungkinya sanagat kecil sekali, sebab biasanya sistem ini didasarkan atas
keturunan. Jadi misalnya anak habaib jadi penerusnya. Dengan sendirinya akan
tetap menjadi golongan habaib dan sebaliknya golongan masyarakat biasa.
Ditinjau dari
segi psikologis kedua kelompok ini mempunyai kebaikan dan keburukan
masing-masing. Stratifikasi terbuka itu lebih dinamis (progresif) dan
anggota-anggota mempunyai cita-cita hidup yang lebih tinggi. Sedang
stratifikasi tertutup bersifat statis, lebih-lebih golongan bawah dan kurang
menunjukkan cita-cita yang tinggi. Adapun kelemahan stratifikasi terbuka ialah
bahwa anggota-anggotanya mengalami kehiduapan yang selalu tegang dan khawatir.
Sehingga akibatnya lebih banyak menaglami ketegangan dan konflik-konflik jiwa
lebih besar daripada kelompok tertutup.
Maka dari itu
orangtua pasti selalu berusaha supaya penghidupan dan kehidupan anak-anaknya
masuk dalam tingkat golongannya, jika perlu bahkan diatasnya. Sebab jika tidak
demikian penghidupan dan kehidupan mereka pasti akan turun dan akhirnya turun
pulalah status dan peranan mereka.[8]
b)
Penentuan Strata
Dari apa yang sudah diuraikan diatas, akhirnya kita dapat
menentukan dan menyebutkan ukuran atau kriteria yang biasanya dipakai untuk
menggolongkan anggota masyarakat kedalam lapisan-lapisan sosial ialah sebagai
berikut:
a.
Ukuran
kekayaan : ukuran kekayaan (kebendaan) dapat dijadikan sebagai ukuran :
barangsiapa yang mempunyai kekayaan paling banyak, termasuk dalam lapisan
sosial teratas. Kenyataan tersebut misalnya berupa mobil pribadinya, cara-cara
mempergunakan pakaian serta bahan pakaian yang dipakainya, kebiasaan untuk
belanja barang mahal dan sebagainya.
b.
Ukuran
kekuasaan : barangsiapa yang memiliki kekuasaan atau mempunyai wewenang
terbesar, menepati lapisan sosial teratas.
c.
Ukuran
kehormatan : ukuran kehormatan mungkin terlepas dari ukuran-ukuran diatas
tersebut, orang yang paling disegani dan dihormati, mendapat atau menduduki
lapisan sosial teratas. Ukuran semacam ini banyak dijumpai dalam masyarakat
tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua ataumereka yang bpernah
berjasa besar kepada masyarakat.
d.
Ukuran ilmu pengetahuan : ilmu pengetahuan
dipakai ukuran oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Ukuran ini
kadang-kadang menjadi negatif; karena ternyata bahwa bukan ilmu pengetahuan
yang dijadikan ukuran, akan tetapi gelar sarjananya. Sudah tentu hal ini
mengakibatkan segala macam usaha untuk mendapatkan gelar tersebut walaupun
secara tidak halal.
C.
Agama Dan Stratifikasi Sosial
Agama dan
pelapisan sosial adalah dua hal yang berbeda. Namun agama dan masyarakat adalah
dua unsur yang saling mempengaruhi satu sama lain. Agama di definisikan sebagai
sistem kepercayaan yang di dalamnya meliputi aspek-aspek hukum, moral, budaya
dan sebagainya. Sedangkan lapisan sosial dipahami sebagai strata orang-orang
yang berkedudukan sama dalam rangkaian status sosial. Memang tidak mudah untuk
dapat menentukan jumlah kelas sosial yang ada di masyarakat. Namun beberapa
ahli menyimpulkan bahwa ada enam pembagian kelas sosial di masyarakat, yaitu:
upper-upper class, lower-upper class, upper-middle class, lower-middle class,
upper-lower class, dan lower-lower class. Klasifikasi di atas tentu tidak
berlaku secara umum di semua masyarakat. Sebab setiap kota ataupun desa
masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda.
Manusia sering
tidak sengaja dan tanpa sadar mengklasifikasikan orang lain ke dalam suatu
kelas sosial, dan yang paling sering dijadikan patokan adalah status ia sendiri
sebagai anggota masyarakat. Misalnya menialai seseorang sederajat, lebih tinggi
atau lebih rendah darinya.Selain itu sejumlah orang menganggap orang-orang
tertentu memiliki karakteristik perilaku tertentu yang pada gilirannya
menciptakan kelas sosial.
Di Amerika
sekalipun yang sering dijadikan contoh Negara paling demokratis, hubungan
antara agama dan kelas sosial tetap signifikan.Maksudnya karena tidak ada
gereja Negara sebagai pemersatu agama mudah merembes ke dalam kelas-kelas
sosial, sebagaimana dikemukakan Demmerath bahwa kegerejaan mencerminkan
pengaruh sosial.Lebih lanjut dia memberi contoh bahwa agama di Amerika, khususnya
Protetanisme secara umum dilihat sebagai kegiatan masyarakat kelas atas atau
menengah.Terdapat tiga indikator yang mendukung pernyataan diatas, yaitu
keanggotaan gereja, kehadiran dalam acara peribadatan gereja, dan keikutsertaan
dalam kegiatan-kegiatan resmi gereja.Dalam setiap unsur tadi, orang-orang yang
berstatus tinggi tampaknya lebih dalam keterlibatannya daripada yang berstatus
rendah.
Hubungan lain dari agama dan
stratifikasi sosial adalah konversi, atau beralih agama., dari agama tertentu
kepada agama lain. Ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang pindah agama,
antara lain faktor ekonomi dan lingkungan sosial. Ernest Troeltsch
mengungkapkan bahwa sebagian besar yang beralih ke agama Kristen berasal dari
kelas menengah bawah yang hidup di kota-kota besar, yang menikmati peningkatan
ekonomi yang terjadi secara lamban pada waktu itu.
BAB III
PENUTUP
v KESIMPULAN
Berdasarkan hasil
studi para ahli sosisologi, dapat diketahui bahwa agama merupakan suatu pandangan
hidup yang harus diterapkan dalam kehidupan individu ataupun kelompok. Keduanya
mempunyai hubungan saling mempengaruhi dan saling bergantung dengan semua
faktor yang ikut membentuk struktur sosial di masyarakat manapun.
Selo Soemardjan
(1964), seorang tokoh sosiologi Indonesia, menyatakan bahwa hal yang mewujudkan
unsur-unsur dalam teorisosiologi tentang sistem berlapis lapis dalam
masyarakat, adalah kedudukan (status) dan peranan (role) ;
kedudukan dan peranan ini kecuali merupakan unsur-unsur baku dalam sistem
berlapis-lapis, juga mempunyai arti yang penting bagi sistem sosial masyarakat;
Ralph Linton (1967) mengartikan sistem sosial itu sebagai pola-pola yang
mengatur hubungan timbal balik antar individu dalam masyarakat dan antar
individu dengan masyarakatnya, dan tingkah laku individu-individu tersebut.
Dalam hubungan-hubungan timbal balik tersebut, kedudukan dan peranan individu
mempunyai arti yang penting, karena keberlangsungan hidup masyarakat tergantung
dari pada keseimbangan kepentingan kepentingan individu termaksud.
Agama dan masyarakat adalah dua
unsur yang saling mempengaruhi satu sama lain. Agama di definisikan sebagai
sistem kepercayaan yang di dalamnya meliputi aspek-aspek hukum, moral, budaya
dan sebagainya. Sedangkan lapisan sosial dipahami sebagai strata orang-orang
yang berkedudukan sama dalam rangkaian status sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Soekanto, Soerjono, Sosiologi; Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 1987.
Hartomo dan arnicun aziz, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta : PT
Bumi Aksara, 2008.
Moeis, Syarif,struktur sosial : startifikasi sosial, Bandung
Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI Bandung,2008.
Kamis, 17 Juli 2014
THE LOSER go WINER
bermain kartu manjadi salah satu hiburan untuk melatih kejelian dan berkompetensi dengan sahabatnya. dimana kita harus beradu strategi yang tidak tahu apa yang akan terjadi dan memprediksi apa yang akan menjadi kebutuhan kita untuk menang.
memberikan hukuman kepada yang kalah bukanlah sebagai punisment yang menjatuhkan tetapi untuk menarik semangat kita dan ketelitian kita untuk selalu berhati-hati dalam melangkah agar tidak terjatuh dan dijatuhkan lawan.
dan inilah kekalahan santri ketika bermain kartu harus pus-up 25 kali.... yang akan membuatnya akan selalu tumbuh dan kuat....go....spirit.....Rabu, 16 Juli 2014
EMOSI DAN AGAMA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Antara
dorongan dan emosi terdapat hibungan yang erat. Sebab, dorongan-dorongan
biasanya dibarengi dengan keadaan intuitif emosional. Ketika suatu dorongan
menjadi intens dan terhalang untuk bisa dipenuhi beberapa lama, biasanya ia
dibarengi dengan ketegangan dalam tubuh. Biasanya ia dibarengi oleh keadaan
intuitif yang kacau. Sedangkan pemenuhan dorongan biasanya dibarengi oleh
intuitif yang ceria. Selain itu juga, emosi mempengaruhi tingkah laku.
Sesungguhnya
tidak ada suatu tindakan manusia yang tidak dikendalikan oleh emosinya. Karena
itu mempelajari faktor emosional dalam agama itu sangatlah penting. Pengaruh
perasaan (emosi) terhadap agama jauh lebih besar daripada rasio (logika).
Banyak orang yang mengerti agama dan agama itu dapat diterima oleh pikirannya,
tetapi dalam pelaksanaannya ia sangat lemah. Kadang-kadang tidak sanggup
mengendalikannya. Dengan demikian, makalah ini akan membahas tentang emosi dan
hubungan dengan agama. Semoga makalah ini bermanfaat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian emosi itu?
2. Apa saja macam- macam teori emosi itu?
3. Bagaimana urgensinya emosi dalam agama?
4. Bagaimana peran kecerdasan emosi dalam psikologi agama?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian
emosi.
2. Untuk mengetahui macam- macam teori emosi.
3. Untuk mengetahui urgensinya/pentingnya emosi dalam agama.
4. Untuk mengerahui peran kecerdasan emosi dalam psikologi agama
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian emosi
Kata
emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti
kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam
emosi. Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan
biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi
pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi
terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi
gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi
terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis.
Pada
umumnya perbuatan kita sehari-hari disertai oleh perasaan-perasaan tertentu,
yaitu perasaan senang atau perasaan tidak senang. Perasaan senang atau tidak
senang yang selalu menyertai perbuatan-pebuatan kita sehari-hari itu, disebut
warna efektif. Warna efektif ini terkadang kuat, terkadang lemah atau
samar-samar saja. Dalam hal warna efektif yang kuat, maka perasaan-perasaan
menjadi lebih mendalam, lebih luas dan lebih terarah. Perasaan-perasaan seperti
ini yang disebut emosi. Beberapa macam emosi antara lain : gembira,
bahagia, terkejut, jemu,benci, was-was dll.
Perbedaan
antara perasaan dan emosi tidak dapat dinyatakan dengan tegas, karena keduanya
merupakan suatu kelangsungan kualitatif yang tidak jelas batasnya. Pada suatu
saat tertentu, suatu warna efektif dapat dikatakan sebagai perasaan, tetapi
juga dapat dikatakan sebagai emosi. Jadi, sukar sekali mendefinisikan emosi.
Oleh karena itu, yang dimaksudkan dengan emosi disini bukan terbatas pada emosi
atau perasaan saja, tetapi meliputi setiap keadaan diri seseorang yang disertai
warna efektif, baik pada tingkat yang lemah (dangkal) maupun pada tingkat yang
kuat (mendalam).
B.
Teori-teori emosi
Ada
dua macam pendapat tentang terjadinya emosi. Pndapat tentang nativistik
mengatakan bahwa emosi-emosi itu pada dasarnya merupakan bawaan sejak lahir,
sedangkan pendapat empiristik mengatakan bahwa emosi dibentuk oleh pengalaman
dan proses belajar.
Salah
satu pengikut paham nativistik adalah rene descartes (1596-1650). Ia mengatakan
bahwa manusia sejak lahirnya telah mempunyai enam emosi dasar yaitu : cinta,
kegembiraan, keinginan, benci, sedih, dan kagum.
Di
pihak kaum empiristik dapat kita catat nama-nama wiliam james (1842-1910,
Amerika Serikat) dan Carl Lange (Denmark). Kedua orang ini menyusun suatu teori
yang dinamakan teori James-Lange. Menurut teori ini, emosi adalah hasil
persepsi seseorang terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh sebagai
respon terhadap rangsangan-rangsangan yaangdatang dari luar.
C.
Pentingnya faktor emosi dalam agama
Factor
yang membantu pembentukan sikap keagamaan adalah system pengalaman emosional
yang dimiliki setiap orang dalam kaitanya dengan agama mereka. Maka, emosi
memegang peranan penting dalam setiap tindak agama, karena tidak ada satu sikap
atau tindak agama seseorang yang dapat dipahami tanpa mengindahkan emosinya.
Berbicara tentang pengalaman keagamaan maka yang kita maksut bisa berupa
pengalaman yang secara orisinal terjadi dalam kaitan bukan keagamaan tetapi
cenderung mengakibatkan perkembangan keyakinan keagamaan, atau suatu corak
pengalaman yang timbul sebagai bagian dari perilaku keagamaan yang mungkin
memperkuat, memperkaya, atau justru memodifikasi kepercayaan keagamaan yang
sudah dianut sebelumnya.
Setiap orang dapat menafsirkan kesadarannya dengan berbagai kegiatan, misalnya
menafsirkan kesadarannya secara teistik dan mengatakan, misalnya bahwa dia
telah “melakukan komunikasi dengan Tuhan”, meskipun pengalaman itu tidak
menutup kemungkinan untuk dijelaskan secara berbeda. Sejumlah orang akan
menolak penafsiran tersebut berdasarkan pengalaman yang kontradiktif, seperti:
1.
Perasaan
orang bahwa dia melakukan kontak langsung dengan realitas-ealitas adikodrati
bisa juga terjadi menggunakan minuman-minuman tertentu yang memabukkan. Salah
sutu jenis minuman yang digunakan eksperimen oleh William James pada zaman kuno
adalah nitrous oxide (oksida nitrat). Ia melaporkan pengalamannya dalam bukunya
Varietes of Religious Experience bahwa semua yang berlawanan dengan dunia nyata
tampak meleleh menjadi satu kesatuan. Dia cenderung berpendapat bahwa hal ini
bukan ilusi semsta-mata yang ditimbulkan oleh minuman yang memabukkan tersebut,
melainkan suatu pengalaman yang yang salah satu aspek realitasnya tersembunyi
di luarkesadaran kita sehari-hari.
2.
James
juga melaporkan dalam pengalamannya J.A. Symonds dengan senyawa chloroform. Ini
terjadi dalam suatu operasi dan bukan sebagai bagian dari eksperimen
psikologik. Symonds melukiskan bagaimana, dalam pengaruh anesthesia
jiwanya yang menyinari saya.” Emudian dia melukiskan ketakutan yang
ditimbulkan kekecewaannya ketika secara berangsur-angsur dia terjaga dari
anestesianya dan kembali normal pada kesadarannya.
Mengenai
obat bius dapat memberikan penglihatan kedalam realitas dengan melenyapkan
beberapa penghalang dibantah oleh Aldous Huxley dari beberapa pengalaman yang
dia peroleh dengan senyawa mescalin, obat bius yang dibuat dari peyote
(Laphophora wiliamsi) yaitu tanaman kaktus tidak berduri yang terdapat di
mexico.dalam lembaga keagamaan, peyote itu dikulum selama peribadatan
berlangsung semalam suntuk setelah melakukan penyucian jasmani dan ruhani.
Hasil yang didapat konon mencakup tidak hanya pencerahan yang mempesonakan,
tetapi juga perolehan beberapa kebaikan abadi seperti kerendahan hati,
kesabaran dan rasa cinta kepada perilaku yang baik.
Ada peribadatan- peribadatan keagamaan lainnya yang juga dapat menimbulkan
pengalaman- pengalaman emosional pada para pelakunya meskipun hal ini bukan
merupakan tujuan utamanya. Tanpa adanya pengalaman emosional peribadatan-
peribadatan itu agak terasa agak kosong dan bersifat formal semata- mata.
Pengamat dari luar yang m,enyaksikan berbagai peribadatan agama mungkin
cenderung berkomentar. “ sebenarnya (peribadatan) ini tidak lebih daripada
upacara yang tidak memiliki makna apa- apa.” Alas an yang dikemukakakn untuk
memberikan penilaian ini barangkali
adalah bahwa dia melihat peribadatan- peribadatan agama ini dari aspek
ekternalnya tanpa mengalami sendiri pengalaman emosional yang memberikan arti
penting kepada para pelaku peribatan itu. Penilaian seperti itu selayaknya
tidak dikemukakan olehb para ahli psikologi yang ingin memahami bahwa dimana
para pelaku peribadatan itu sendiri mungkin banyak juga upacara keagamaan yang
tidak bermakna.
Yang tampak begitu sederhana dimata pengamat dari luar barang kali sarat
dengan makna efektif (emosional) bagi para pelakunya. Dalam upacara berdoa atau
dalam pemberian korban, diduga keras ada kesadaran kuat akan kehadiran dan komunikasi
dengan tuhan, dan pengalaman-pengalaman ini mungkin efektif untuk menghilangkan
ketegangan dan menumbuhkan perasaan damai dan kebahagiaan.
Pengalaman-pengalaman seperti itu
bisa timbul dari berbagai macam peribadatan yang secara prisipal tidak berusaha
menimbulkan tanggapan emosional. Namun ada peribadatan-peribatan keagamaan
lainnya yang ditunjukan untuk mengintensifkan pengalaman – pengalaman emosional
pelakunya. Tujuan ini mendapat penilaian berbeda-beda pada setiap tradisi
keagamaan, sebagian beranggapan bahwa perasaan-perasaan para pelaku peribadatan
itu hanya memiliki makna sekunder, sedangkan agama-agama lain yang berusaha
menimbulkan emosi yang kuat bisa beranggapan hal itu merupakan bukti akan
turunnya “Ruh”. Terlepas dari masalah penggunaan obat-obat bius seperti peyote
yang kadang-kadang dilakukan orang, unsur-unsur utama yang dapat menimbulkan
pengalaman emosional selama peribadatan keagamaan itu berlangsung tampaknya ada
rangkaian upacaranya sendiri, musik yang dimainkan dan khutbah emosional yang
disampaikan di situ.
Lembaga-lembaga keagamaan yang
mempergunakan upacara yang tertata rapi dalam peribadatannya tidak selau
beranggapan bahwa dampak-dampak emosional upacara ini terhadap para pelakunya
merupakan sesuatu yang mempunyai makna primer. Namun demikian, dampak-dampak
semacam itu bisa terjadi dan boleh jadi benar-benar memiliki makna bagi para
pelakunya. Peribadatan yang khidmat, bau – bauan yang harum dari ramuan
tertentu yang dibakar, berbagai jubah keupacaraan, dan banyaknya lilin yang
dinyalakan pada Misa di gereja katholik Romawi atau gereja Timur semuanya dapat
menimbulkan atau mengintensifkan perasaan-perasaan khidmat para peserta
peribadatan itu. Beberapa gerakan seperti berdiri atau berlutut dalam doa (
sholat dalam islam) tidak hanya bisa melambangkan sikap-sikap hormat dan
tunduk; tetapi juga dapat menimbulkan berbagai emosi yang sesuai denga sikap-sikap ini.
D.
Peran Kecerdasan Emosi Dalam Psikologi Agama
1.
Definisi
Kecerdasan Emosional (EQ)
Secara harfiah
kecerdasan bersal dari kata cerdas, yang berarti sempurna perkembangan akal
budinya, pandai dan tajam pikiranya. Selain itu dapat pula berarti sempurna
pertumbuhan tubuhnya seperti sehat dan kuat fisiknya. Sedangkan kata
emosional berasal dari bahasa inggris,
yaitu emotion yang berarti keibaan hati, suara yang mengandung emosi, pembelaan
yang mengharukan, pembelaan yang penuh perasaan. Secara umum, emosi sering
diartikan dorongan yang amat kuat dan cenderung mengarah kepada hal – hal yang
kurang terpuji, seperti halnya emosi yang ada pada para remaja yang sedang
goncang, Adapun para pakar psikologi memberikan definisi beragam pada Kecerdasan
Emosional (EQ), Di antaranya:
· Daniel Goleman, mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai
“kemampuan mengenali perasaan diri kita sendiri dan perasaan orang lain,
kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik
pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain.”
· Cooper dan Sawaf,
mendefinisikan bahwa kecerdasan emosional adalah “kemampuan merasakan,
memahami, dan secara efektif mengaplikasikan kekuatan serta kecerdasan emosi
sebagai sumber energi manusia, informasai, hubungan, dan pengaruh.”
·
Salovey
dan Mayer, mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai “suatu kecerdasan social
yang berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memantau dan mengendalikan
perasaan dirinya dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk
memandu pikiran dan tindakan.”
Dari definisi – definisi
kecerdasan emosional di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional
adalah kecerdasan untuk memahami, mengenali, merasakan, mengelola, dan memimpin
perasaan diri sendiri dan orang lain serta mengaplikasikannya dalam kehidupan
pribadi dan social. Kecerdasan emosional mencakup kemampuan – kemampuan yang berbeda,
tetapi saling melengkapi, dengan kecerdasan akademik (academic intelligence),
yaitu kemampuan – kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ. Banyak orang
yang cerdas, dalam arti terpelajar, tetapi tidak mempunyai kecerdasan emosi,
ternyata bekerja menjadi bawahan orang yang ber-IQ lebih rendah tetapi unggul
dalam keterampilan kecerdasan emosi.
2.
Ciri
– Ciri Kecerdasan Emosional
Menurut Goleman, ada
beberapa ciri pikiran emosional dalam kecerdasan emosional, di antaranya
sebagai berikut :
1.
Respon
pikiran emosional (emotional mind) itu jauh lebih cepat dari pikiran rasional (rational
mind). Pikiran emosional itu lebih cepat dalam bertindak tanpa mempertimbangkan
apa yang dilakukannya. Tindakan yang
muncul dari pikiran emosional membawa rasa kepastian yang kuat.
2.
Emosi
itu mendahului pikiran. Menurut Ekman, secara teknis, memuncaknya emosi itu
berlangsung amat singkat, hanya dalam hitungan detik, bukan dalam hitungan
menit, jam, atau hari.
3.
Logika
emosional itu bersifat asosiatif
4.
Memposisikan
masa lampau sebagai masa sekarang. Akal
emosional bereaksi terhadap keadaan sekarang seolah–olah keadaan itu adalah
masa lampau.
3.
Peran
Kecerdasan Emosional
Kecerdasan
emosional sangat penting dalam menompang kelangsungan dan kesuksesan manusia
dalam tugasnya. Peran IQ dalam keberhasilan di dunia kerja hanya menempati
posisi kedua sesudah kecerdasan emosional dalam menentukan peraihan prestasi
puncak dalam pekerjaan. Untuk itu para pelatihan pekerjaan saat ini banyak yang
mengatakan bahwa kecerdasan emosional harus menjadi alasan mendasar dalam
setiap pelatihan manajemen. Sehingga dengan kecerdasan emosional seseorang
memungkinkan dapat bekerja sama membangun kemitraan yang saling menguntungkan
dengan orang lain. Dengan cara demikian semakin terbuka berbagai kemungkinan
yang dapat membawa kesuksesan. Dengan hal ini kita dapat mengatakan bahwa
seseorang yang sukses dalam studinya dengan menjadi juara kelas atau meraih
prestasi angka nilai yang tinggi dalam ujian di kelas, belum dapat menjamin
kesuksesannya dalam bidang usaha, manakala tidak di imbangi dengan kecerdasan
emosional.
Secara
efektif kecerdasan emosional menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber
energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi, karena kecerdasan
emosional bukanlah muncul dari pemikiran intelek yang jernih tetapi dari
perasaan hati manusia. Dan kecerdasan emosionallah yang memotivasi kita untuk
mencari manfaat, mengaktifkan aspirasi, dan nilai – nilai kita yang paling
dalam. Sehingga mengubahnya dari apa yang kita pikirkan menjadi apa yang kita
jalani. Di antara dimensi EQ, yang mempunyai ikatan erat dengan keberhasilan
dalam berdagang dan bekerja adalah kemampuan manusia dalam berintegrasi dengan
perasaan emosinya, serta kemampuan beradaptasi dengan kesulitan dan kepelikan
masalah yang dihadapinya. EQ membantu manusia untuk menentukan kapan dan di
mana ia bisa mengungkapkan perasaan dan emosinya. EQ juga membantu manusia mengarahkan
dan mengendalikan emosinya.
Dalam
konteks hubungan emosi dan motivasi, tindakan memotivasi harus dilakukan dengan
menyentuh emosi. Karena emosi yang negatif akan melahirkan tindakan yang
negatif pula. Begitu juga sebaliknya, emosi yang positif akan akan melahirkan
tindakan yang positif pula (Dean R. Spitzer,1995).
Mendalamnya
makna kecerdasan emosional akan dapat dipahami ketika kita sudah sampai pada
kesimpulan dibutuhkannya kecakapan dalam menangani emosi, menyelesaikan
pertengkaran secara damai, dan bergaul biasa. Sedangkan inti kecerdasan
emosional menurut Goleman adalah pengenalan atau kesadaran diri, yakni
kesadaran akan perasaan diri sendiri sewaktu perasaan itu timbul. Menurutnya
kesadaran diri bukanlah perhatian yang larut dalam emosi atau bereaksi secara
berlebihan. Kecerdasan diri lebih merupakan modus netral yang mempertahankan
refleksi diri bahkan di tengah badai emosi. Begitulah makna dan pentingnya
kecerdasan emosional.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Kata
emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh.
Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak
dalam emosi. Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu
keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.
Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak.
2.
Ada
dua macam pendapat tentang terjadinya emosi. Pndapat tentang nativistik
mengatakan bahwa emosi-emosi itu pada dasarnya merupakan bawaan sejak lahir,
sedangkan pendapat empiristik mengatakan bahwa emosi dibentuk oleh pengalaman
dan proses belajar.
3.
Seperti
sudah dikemukakan sebelumnya bahwa salah satu faktor yang membantu pembentukan
sikap keagamaan adalah sistem pengalaman sosial yang dimiliki setiap orang
dalam kaitannya dengan agama mereka. Factor yang
membantu pembentukan sikap keagamaan adalah system pengalaman emosional yang
dimiliki setiap orang dalam kaitanya dengan agama mereka. Maka, emosi memegang
peranan penting dalam setiap tindak agama, karena tidak ada satu sikap atau
tindak agama seseorang yang dapat dipahami tanpa mengindahkan emosinya. Ada peribadatan- peribadatan keagamaan lainnya yang juga
dapat menimbulkan pengalaman- pengalaman emosional pada para pelakunya meskipun
hal ini bukan merupakan tujuan utamanya. Tanpa adanya pengalaman emosional
peribadatan- peribadatan itu agak terasa agak kosong dan bersifat formal
semata- mata.
4.
kecerdasan
emosional adalah kecerdasan untuk memahami, mengenali, merasakan, mengelola,
dan memimpin perasaan diri sendiri dan orang lain serta mengaplikasikannya
dalam kehidupan pribadi dan social. Kecerdasan emosional mencakup kemampuan –
kemampuan yang berbeda, tetapi saling melengkapi, dengan kecerdasan akademik
(academic intelligence), yaitu kemampuan – kemampuan kognitif murni yang diukur
dengan IQ. Banyak orang yang cerdas, dalam arti terpelajar, tetapi tidak
mempunyai kecerdasan emosi, ternyata bekerja menjadi bawahan orang yang ber-IQ
lebih rendah tetapi unggul dalam keterampilan kecerdasan emosi. Secara efektif
kecerdasan emosional menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi,
informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi, karena kecerdasan emosional
bukanlah muncul dari pemikiran intelek yang jernih tetapi dari perasaan hati
manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Golemen Daniel 2000, emotional intelegence
(terjemah), Jakarta, PT Gramedia Utama
Wirawan,
Sarlito 1976, Pengantar Umum Psikologi, Cet-5, Jakarta, PT Bulan Bintang
Thoules,
Robert 1992, Pengantar Psikologi Agama, Jakarta, PT Rajawali
Nata,
Abudin 2003, manajemen Pendidikan, Jakarta, PT Gramedia
Golemen,Daniel
1999, Working With Intelegence, Jakarta; PT Gramedia
Efendi
Agus 2005, revolusi kecerdasan Abad 21, Bandung; Anggota IKAPI
Mubayidh
Makmun 2006, Kecerdasan & Kesehatan Emosional Anak, Jakarta; pustaka
al-kautsar
Langganan:
Postingan (Atom)