Kamis, 24 Juli 2014

SHALAT IDAIN DAN ZAKAT FITRAH

Shalat idain yaitu shalat idul akbar dan idul azghor. Dilaksanakan pada terbitnya matahari. dilakukan 2 rokaat. Setelah iftitah pada rokaat pertama 7 takbir dan rokaat yang kedua 5 takbir dan membaca tasbih (subhanallah wal hamdulillah walailahaillallah wallahuakbar).
Apa yang dimaksud idul akbar yaitu idul adha dan idul azghar yaitu idul fitri. Pelaksanaannya kebalikan dari shalat jumat. Yaitu shalat dulu baru khutbah.
Sebagian ulama' mengatakan dilakukan dilapangan, karena pada zaman rosul dahulu belum banyak masjid yang besar yang menampung orang banyak. Berbeda dengan saat ini yang kebanyakan masjid dapat menampung masyarakat banyak.
Zakat.
Takaran yang baik adalah 2,75 kg sebaiknya zakat itu makanan pokok yang ada didaerah tersebut.
Zakat fitrah adalah ibadah yang ditentukan waktu dan nishapnya. Dan ditentukan siapa yang berhak menerima yaitu ada 8 asnaf.
Waktu zakat yg terbaik adalah setelah buka puasa yang terahir dan sebelum berangkat shalat idul fitri.
Kalau ada orang yang lahir sebelum buka puasa yang terahir dia wajib zakat. Atau orang meninggal sebelum buka puasa yang terhir juga wajib zakat.
Ukuran orang yang zakat, ketika besok masih ada yang dimakan atau kekayaan lain yang dapat dijual dan memenui untuk zakat maka dia tetap wajib zakat.

Selasa, 22 Juli 2014

DOA NABI ADAM

Nabi Adam As. ketika dikeluarka dari surga. beliau beristighfar kepada Allah selama 40 tahun. 
beliau nabi Adam As. mengucap:


ربَّنا ظَلَمْنَآ انْفُنَا والَمْ تَغْفِرلَنَ وترحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ آلْخَسِرين

ya tuhan kami! kami telah menganiaya diri kami sendiri. dan jika beliau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang rugi.

bagaimanalah kita sebagai keturunan Nabi Adam As. 

Minggu, 20 Juli 2014

ORGANISASI DAKWAH

ORGANISASI DAKWAH
Pengertiannya adalah suatu bentuk badan, yang didalamnya saling berkaitan satu dengan yang lainnya  untuk membentuk suatu keutuhan dan tujuan yang sama dalam suatu perkumpulan. Yang mana didalam organisasi terdapat proses penetapan dan pembagian pekerjaan, dan tanggung jawab untuk melancarkan suatu kegiatan dakwah agar tepat sasran.
Dalam menjalankan organisasi dakwah tidaklah lepas dari sistem mempengaruhi orang lain dalam pengembangan kaderisasi atau penngembangan aggota, yang mana akan menjadi generasi penerus dari organisasi dan yang akan mengembangan keorganisasian dakwah terseabut secara kontinuitas sehingga keberlanjutan dari tujuan organisasi tidak terputus.
 Contoh dari organisasi dakwah diantaranya adalah HTI, NU, Muhammadiyah, dan lembaga-lembaga pendidikan. Dalam organisasi tersebut didalamnya tersusun rapi.
3 ASPEK PENTING DALAM ORGANISASI DAKWAH
1. Aspek struktur keorganisasian
Untuk menjalankan organisasi sangat perlu dilakukan pembagian tugas dan wewenang dalam bentuk struktur bagan keorganisasian. Yang mana dari setiap bagan akan memiliki tugas yang terkonsentrasi tidak saling berbenturan dengan bagan yang lain. Sehingga organisasi ini akan terbentuk wujud yang kuat dan terarah sesuai tujuan dari organisasi. 
2. Aspek tanggung jawab dan wewenang
Dalam menjalankan organisasi yang telah terbentuk dalam setruktur yang jelas, aspek tanggung jawab dan wewenang ini sangat menjadi hal yang urgen. Karena untuk terhidar dari penyakit organisasi yang dapat mematikan dari organisasi yang telah dibangun. Karena kadernya mulai lalai dari tanggung jawab dan wewenangnya dalam menjalamkan tugas-tugasnya.
3. Aspek hubungan anggota
Ini sangat berhubungan dengan keberlanjutan pengkaderan dari keorganisasian. Dan faktor kepemimpinan lebih mendominasi dalam menjaga komunikasi dengan anggota-anggotanya. Hal ini lebih berhubungan dengan kenyamanan anggota dalam menjalankan organisasi

HUBUNGAN AGAMA DENGAN STRATIFIKASI SOSIAL

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Agama sebagimana dikatakan oleh ahli sosiolog merupakan suatu pandangan hidup yang harus diterapkan dalam kehidupan individu ataupun kelompok. Keduanya mempunyai hubungan saling mempengaruhi dan saling bergantung dengan semua faktor yang ikut membentuk struktur sosial di masyarakat mana pun. Sedang diposisi lain manusia yang hidup secara berkelompok akan banyak sekali permasalahan-permasalahan ataupun gejala-gejala sosial yang timbul dalam keseharianya. Salah satunya ialah munculnya sesuatu yang dihargainya, selama manusia masih mempunyai sesuatu yang dihargainya dan sesutu yang dihargainya tersebut mutlak dimiliki oleh masyarakt, maka sistem pelapisan masyarakat akan muncul. Inilah salah satu bibit dimana munculnya stratifikasi sosial dimasyarakat.[1]
Lebih lanjut, dijelaskan sistem berlapis-lapis dalam suatu masyarakat, dalam sosiologi dikenal dengan istilah social stratisfication (stratifikasi sosial). Kata stratisfication berasal dari stratum (jamaknya: strata yang berarti lapisan). Mengenai istilah ini, Soekanto mengutip Pitirim A. Sorokin dalam menjelaskan definisinya. Di mana disebutkan bahwa yang dimaksud dengan social stratisfication adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (secara hirarkis).[2]
            Dalam masyarakat Indonesia ternyata terdapat stratifikasi atau tingkatan dalam keagamaan. Dalam sebuah agama saja antara umat satu dengan umat lainnya diuangap memiliki tingkatan atau kedudukan sosial yang berbeda dengan umat yang lainnya, padahal mereka menganut agama yang sama. Inilah yang akan coba kita angkat pada pembahasan kali ini disamping tetap mempertimbangkan prosedur pembuatan makalah yang telah ditetapkan oleh dosen pengampu, kiranya pembahasan ini juga menarik untuk dikaji karena dalam realitanya kita juga sering menemukan hal-hal senacam ini.
  
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pandangan agama dalam sosiologi?
2.      Bagaimana konsep stratifikasi sosial?
3.      Bagaimana hubungan antara agama dan stratifikasi social?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pandangan agama dalam sosiologi
2.      Untuk mengetahui konsep stratifikasi social
3.      Untuk mengetahui hubungan antara agama dan stratifikasi sosial
  

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Agama Dan Pandangan Sosiologi
Dalam kajian sosiologis agama diartikan sebagai gejala sosial yang umum dan dimiliki oleh seluruh masyarakat yang ada di dunia ini, tanpa terkecuali. Ia merupakan salah satu aspek dalam kehidupan sosial dan bagian dari sistem sosial suatu masyarakat. Agama juga bisa dilihat sebagai unsur dari kebudayaan suatu masyarakat disamping unsur-unsur lainnya. Meskipun agama berkaitan dengan berbagai kewajiban, ketundukan, dan kepatuhan, tetapi tidak setiap ketaatan itu bisa disebut agama, bergantung pada siapa ketaatan itu diperuntukkan dan atas dasar motivasi apa ketaatan itu dilaksanakan. Ketaatan dan kepatuhan pihak yang kalah perang kepada pihak yang menang perang, ketaatan rakyat terhadap pemimpinnya tidak bisa disebut agama dalam kacamata keilmuan. Berdasarkan hasil studi para ahli sosisologi, dapat diketahui bahwa agama merupakan suatu pandangan hidup yang harus diterapkan dalam kehidupan individu ataupun kelompok. Keduanya mempunyai hubungan saling mempengaruhi dan saling bergantung dengan semua faktor yang ikut membentuk struktur sosial di masyarakat mana pun.
Ada empat unsur agama yaitu:
a.       Pengakuan bahwa ada kekuatan gaib yang menguasai atau mempengaruhi kehidupan manusia.
b.      Keyakinan bahwa keselamatan hidup manusia tergantung pada adanya hubungan baik antara manuasia dan kekuatan gaib itu.
c.       Sikap emosional pada hati manusia terdapat kekuatan gaib itu, seperti sikap takut, hormat, cinta, penuh harapan, pasrah.
d.      Tingkah laku tertentu yang dapat diamati seperti sholat, doa, puasa, suka menolong, tidak korupsi
B.     Pengertian Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial merupakan pembedaan masyarakat ke dalam kelas yang tersusun secara bertingkat. Stratifikasi sosial juga sering disebut sebagai pelapisan sosial. Pelapisan sosial terjadi karena ada sesuatu yang dihargai lebih atas penilaian kelompok, seperti kekayaan, kekuasaan, keturunan (kehormatan) dan ilmu pengetahuan (pendidikan). Stratifikasi sosial juga dapat dianggap sebagai pembedaan sosial yang bersifat vertikal karena adanya pelapisan ke dalam kelas-kelas tertentu yang dianggap lebih tinggi.
Pada prinsipnya kelas adalah penggolongan manusia yang tidak terang batas-batasnya dan hanya memperlihatkan sifat golongan. Sebenarnya apabila diperiksa sungguh-sungguh, maka ternyata banyak sekali kelas dan gaya hidup yang terdapat dalam masyarakat.[3]
Selo Soemardjan (1964), seorang tokoh sosiologi Indonesia, menyatakan bahwa hal yang mewujudkan unsur-unsur dalam teorisosiologi tentang sistem berlapis lapis dalam masyarakat, adalah kedudukan (status) dan peranan (role) ; kedudukan dan peranan ini kecuali merupakan unsur-unsur baku dalam sistem berlapis-lapis, juga mempunyai arti yang penting bagi sistem sosial masyarakat; Ralph Linton (1967) mengartikan sistem sosial itu sebagai pola-pola yang mengatur hubungan timbal balik antar individu dalam masyarakat dan antar individu dengan masyarakatnya, dan tingkah laku individu-individu tersebut. Dalam hubungan-hubungan timbal balik tersebut, kedudukan dan peranan individu mempunyai arti yang penting, karena keberlangsungan hidup masyarakat tergantung daripada keseimbangan kepentingan kepentingan individu termaksud.[4] Dalam teori sosiologi, unsur-unsur sistem stratifikasi sosial dalam masyarakat adalah:
1)      Kedudukan (status)
Kedudukan (status) sering kali dibedakan dengan kedudukan sosial (social status). Kedudukan adalah sebagai tempat  atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial. Status seseorang biasanya mempunyai dua aspek yaitu :
a)      Aspek struktural, ialah status yang ditunjukkan oleh adanya atau susunan lapisan sosial dari atas kebawah. Aspek ini sifatnya lebih stabil dibandingkan dengan fungsional.
b)      Aspek fungsional, disebut juga peranan sosial yang terdiri dari kewajiban atau keharusan yang harus dilakukan seseorang karena kedudukannya didalam status tertentu.
Dalam masyarakat, sekurangnya ada tiga macam kedudukan, yaitu :
a.        Ascribed status, yaitu kedudukan seseorang yang akan didapat dengan sendirinya. Misalnya golongan berdasar jenis kelamin, tingkat umur dan sebagainya. Atau dengan kata lain : seseorang dapat mencapai status secara ascrib, karena ia dilahirkan dalam golongan tertentu, misalnya seorang anak raja.
b.      Achievel status, yaitu kedudukan seseorang yang didapat dengan cara berusaha atau berjuang, mislanya sebagai pemimpin parpol, guru, dosen dan lain sebagainya. Boleh juga misalnya seorang buruh berjuang menjadi majikan, guru SD berjuang menjadi profesor dan sebagainya
c.       Assigned Status, yaitu kedudukan yang diberikan karena alasan-alasan tertentu; dalam arti bahwa suatu kelompok, golongan, atau masyarakat memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada seseorang yang dianggap berjasa, yang telah memperjuangkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Akan tetapi kadang-kadang kedudukan tersebut diberikan, karena seseorang telah lama menduduki suatu jabatan tertentu, seperti di pedesaan ada istilah ‘lurah hormat’ adalah satu gelar yang diberikan kepada seorang mantan pemuka desa yang dianggap sangat berjasa atas kemajuan desanya. Kedudukan yang diberikan ini diwujudkan dalam bentuk penghormatan gelar tertentu seperti ‘datuk’ pada masyarakat Sumatera Barat, ‘sir’ pada masyarakat Inggris, atau ‘andi’ pada masyarakat Makasar; Individu-individu yang mendapatkan kedudukan ini tidak dibebankan atas kewajiban-kewajiban menurut kedudukannya, namun mereka sedikitnya mendapakan fasilitas-fasilitas khusus yang tidak diberikan pada orang kebanyakan, di samping itu kedudukan ini tidak terbatas diberikan kepada anggota-anggota masyarakat yang bersangkutan, tetapi bisa juga kepada orang luar masyarakat tersebut.[5]
4.        Peranan (role)
Peranan (role) merupakan aspek dinamis dari kedudukan, dimana apabila seseorang melaksanakan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka orang itu telah menjalankan suatu peran. Peranan dan kedudukan itu saling melengkapi, kedua-duanya tidak dapat dipisahkan, oleh karena yang satu tergantung pada yang lain dan demikian sebaliknya. Yang membedakan dari keduanya adalah menyangkut proses, harus ada kedudukan terlebih dahulu baru kemudian ada peranan, keadaan ini tidak bisa terbalik.[6]
Status seseorang individu dalam masyarakat dapat dilihat dari dua aspek, yakni:
a.       Aspek statis, yaitu kedudukan dan derajat seseorang didalam suatu kelompok yang dapat dibedakan dengan derajat atau kedudukan individu lainya. Seperti petani dapat dibedakan dengan nelayan, PNS dengan pedagang dan lain sebagainya.
b.      Aspek Dinamis, yaitu berhubungan erat dengan peranan sosial tertentu yang berhubungan dengan pengertian jabatan, fungsi dan tingkah laku yang formal serta jasa yang diharapkan dari fungsi dan jabatan tersebut. Contoh : direktur perusahaan, pimpinan sekolah, dan lain sebagainya.[7]
a)      Sifat stratifikasi sosial
Ø  Stratifikasi terbuka
Anggota kelompok yang satu ada kemungkinan besar untuk berpindah ke kelompok yang lain, artinya dapat menurun ke kelompok yang lebih rendah atau sebaliknya. Contoh, kedudukan presiden dan menteri. Anak-anak presiden dan menteri belum tentu dapat mencapai kedudukan sebagai presiden atau menteri. Tetapi sebaliknya warga masyarakat pada umumnya ada kemungkinan dapat memiliki kedudukan seperti tersebut diatas.
Ø  Stratifikasi tertutup
Kemungkinan pindah seseorang anggota kelompok dari golongan yang satu ke golongan yang lain kemungkinya sanagat kecil sekali, sebab biasanya sistem ini didasarkan atas keturunan. Jadi misalnya anak habaib jadi penerusnya. Dengan sendirinya akan tetap menjadi golongan habaib dan sebaliknya golongan masyarakat biasa.
Ditinjau dari segi psikologis kedua kelompok ini mempunyai kebaikan dan keburukan masing-masing. Stratifikasi terbuka itu lebih dinamis (progresif) dan anggota-anggota mempunyai cita-cita hidup yang lebih tinggi. Sedang stratifikasi tertutup bersifat statis, lebih-lebih golongan bawah dan kurang menunjukkan cita-cita yang tinggi. Adapun kelemahan stratifikasi terbuka ialah bahwa anggota-anggotanya mengalami kehiduapan yang selalu tegang dan khawatir. Sehingga akibatnya lebih banyak menaglami ketegangan dan konflik-konflik jiwa lebih besar daripada kelompok tertutup.
Maka dari itu orangtua pasti selalu berusaha supaya penghidupan dan kehidupan anak-anaknya masuk dalam tingkat golongannya, jika perlu bahkan diatasnya. Sebab jika tidak demikian penghidupan dan kehidupan mereka pasti akan turun dan akhirnya turun pulalah status dan peranan mereka.[8]
b)      Penentuan Strata
Dari apa yang sudah diuraikan diatas, akhirnya kita dapat menentukan dan menyebutkan ukuran atau kriteria yang biasanya dipakai untuk menggolongkan anggota masyarakat kedalam lapisan-lapisan sosial ialah sebagai berikut:
a.       Ukuran kekayaan : ukuran kekayaan (kebendaan) dapat dijadikan sebagai ukuran : barangsiapa yang mempunyai kekayaan paling banyak, termasuk dalam lapisan sosial teratas. Kenyataan tersebut misalnya berupa mobil pribadinya, cara-cara mempergunakan pakaian serta bahan pakaian yang dipakainya, kebiasaan untuk belanja barang mahal dan sebagainya.
b.      Ukuran kekuasaan : barangsiapa yang memiliki kekuasaan atau mempunyai wewenang terbesar, menepati lapisan sosial teratas.
c.       Ukuran kehormatan : ukuran kehormatan mungkin terlepas dari ukuran-ukuran diatas tersebut, orang yang paling disegani dan dihormati, mendapat atau menduduki lapisan sosial teratas. Ukuran semacam ini banyak dijumpai dalam masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua ataumereka yang bpernah berjasa besar kepada masyarakat.
d.      Ukuran ilmu pengetahuan : ilmu pengetahuan dipakai ukuran oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Ukuran ini kadang-kadang menjadi negatif; karena ternyata bahwa bukan ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran, akan tetapi gelar sarjananya. Sudah tentu hal ini mengakibatkan segala macam usaha untuk mendapatkan gelar tersebut walaupun secara tidak halal.

C.    Agama Dan Stratifikasi Sosial
Agama dan pelapisan sosial adalah dua hal yang berbeda. Namun agama dan masyarakat adalah dua unsur yang saling mempengaruhi satu sama lain. Agama di definisikan sebagai sistem kepercayaan yang di dalamnya meliputi aspek-aspek hukum, moral, budaya dan sebagainya. Sedangkan lapisan sosial dipahami sebagai strata orang-orang yang berkedudukan sama dalam rangkaian status sosial. Memang tidak mudah untuk dapat menentukan jumlah kelas sosial yang ada di masyarakat. Namun beberapa ahli menyimpulkan bahwa ada enam pembagian kelas sosial di masyarakat, yaitu: upper-upper class, lower-upper class, upper-middle class, lower-middle class, upper-lower class, dan lower-lower class. Klasifikasi di atas tentu tidak berlaku secara umum di semua masyarakat. Sebab setiap kota ataupun desa masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda.
Manusia sering tidak sengaja dan tanpa sadar mengklasifikasikan orang lain ke dalam suatu kelas sosial, dan yang paling sering dijadikan patokan adalah status ia sendiri sebagai anggota masyarakat. Misalnya menialai seseorang sederajat, lebih tinggi atau lebih rendah darinya.Selain itu sejumlah orang menganggap orang-orang tertentu memiliki karakteristik perilaku tertentu yang pada gilirannya menciptakan kelas sosial.
Di Amerika sekalipun yang sering dijadikan contoh Negara paling demokratis, hubungan antara agama dan kelas sosial tetap signifikan.Maksudnya karena tidak ada gereja Negara sebagai pemersatu agama mudah merembes ke dalam kelas-kelas sosial, sebagaimana dikemukakan Demmerath bahwa kegerejaan mencerminkan pengaruh sosial.Lebih lanjut dia memberi contoh bahwa agama di Amerika, khususnya Protetanisme secara umum dilihat sebagai kegiatan masyarakat kelas atas atau menengah.Terdapat tiga indikator yang mendukung pernyataan diatas, yaitu keanggotaan gereja, kehadiran dalam acara peribadatan gereja, dan keikutsertaan dalam kegiatan-kegiatan resmi gereja.Dalam setiap unsur tadi, orang-orang yang berstatus tinggi tampaknya lebih dalam keterlibatannya daripada yang berstatus rendah.
           Hubungan lain dari agama dan stratifikasi sosial adalah konversi, atau beralih agama., dari agama tertentu kepada agama lain. Ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang pindah agama, antara lain faktor ekonomi dan lingkungan sosial. Ernest Troeltsch mengungkapkan bahwa sebagian besar yang beralih ke agama Kristen berasal dari kelas menengah bawah yang hidup di kota-kota besar, yang menikmati peningkatan ekonomi yang terjadi secara lamban pada waktu itu.


BAB III
PENUTUP

v  KESIMPULAN
            Berdasarkan hasil studi para ahli sosisologi, dapat diketahui bahwa agama merupakan suatu pandangan hidup yang harus diterapkan dalam kehidupan individu ataupun kelompok. Keduanya mempunyai hubungan saling mempengaruhi dan saling bergantung dengan semua faktor yang ikut membentuk struktur sosial di masyarakat manapun.
            Selo Soemardjan (1964), seorang tokoh sosiologi Indonesia, menyatakan bahwa hal yang mewujudkan unsur-unsur dalam teorisosiologi tentang sistem berlapis lapis dalam masyarakat, adalah kedudukan (status) dan peranan (role) ; kedudukan dan peranan ini kecuali merupakan unsur-unsur baku dalam sistem berlapis-lapis, juga mempunyai arti yang penting bagi sistem sosial masyarakat; Ralph Linton (1967) mengartikan sistem sosial itu sebagai pola-pola yang mengatur hubungan timbal balik antar individu dalam masyarakat dan antar individu dengan masyarakatnya, dan tingkah laku individu-individu tersebut. Dalam hubungan-hubungan timbal balik tersebut, kedudukan dan peranan individu mempunyai arti yang penting, karena keberlangsungan hidup masyarakat tergantung dari pada keseimbangan kepentingan kepentingan individu termaksud.
            Agama dan masyarakat adalah dua unsur yang saling mempengaruhi satu sama lain. Agama di definisikan sebagai sistem kepercayaan yang di dalamnya meliputi aspek-aspek hukum, moral, budaya dan sebagainya. Sedangkan lapisan sosial dipahami sebagai strata orang-orang yang berkedudukan sama dalam rangkaian status sosial.



DAFTAR PUSTAKA

Soekanto, Soerjono, Sosiologi; Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 1987.
Hartomo dan arnicun aziz, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta : PT Bumi Aksara, 2008.
Moeis, Syarif,struktur sosial : startifikasi sosial, Bandung Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI Bandung,2008.



[1] . Soerjono Soekanto, Sosiologi; Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 1987, hlm. 203
[2] . Ibid. Hlm. 204
[3] . Hartomo dan arnicun aziz, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta : PT Bumi Aksara, 2008. Hlm.201
[4] . Syarif Moeis judul struktur sosial : startifikasi sosial, Bandung Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI Bandung,2008. Hlm. 10
[5] .ibid hlm. 12
[6] . Ibid. Hlm. 13-14
[7] . Hartomo dan arnicun aziz, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta : PT Bumi Aksara, 2008. Hlm.155
[8] . ibid hlm. 202-203

Kamis, 17 Juli 2014

THE LOSER go WINER


bermain kartu manjadi salah satu hiburan untuk melatih kejelian dan berkompetensi dengan sahabatnya. dimana kita harus beradu strategi yang tidak tahu apa yang akan terjadi dan memprediksi apa yang akan menjadi kebutuhan kita untuk menang. 
memberikan hukuman kepada yang kalah bukanlah sebagai punisment yang menjatuhkan tetapi untuk menarik semangat kita dan ketelitian kita untuk selalu berhati-hati dalam melangkah agar tidak terjatuh dan dijatuhkan lawan.
dan inilah kekalahan santri ketika bermain kartu harus pus-up 25 kali.... yang akan membuatnya akan selalu tumbuh dan kuat....go....spirit.....

Rabu, 16 Juli 2014

EMOSI DAN AGAMA

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Antara dorongan dan emosi terdapat hibungan yang erat. Sebab, dorongan-dorongan biasanya dibarengi dengan keadaan intuitif emosional. Ketika suatu dorongan menjadi intens dan terhalang untuk bisa dipenuhi beberapa lama, biasanya ia dibarengi dengan ketegangan dalam tubuh. Biasanya ia dibarengi oleh keadaan intuitif yang kacau. Sedangkan pemenuhan dorongan biasanya dibarengi oleh intuitif yang ceria. Selain itu juga, emosi mempengaruhi tingkah laku.
            Sesungguhnya tidak ada suatu tindakan manusia yang tidak dikendalikan oleh emosinya. Karena itu mempelajari faktor emosional dalam agama itu sangatlah penting. Pengaruh perasaan (emosi) terhadap agama jauh lebih besar daripada rasio (logika). Banyak orang yang mengerti agama dan agama itu dapat diterima oleh pikirannya, tetapi dalam pelaksanaannya ia sangat lemah. Kadang-kadang tidak sanggup mengendalikannya. Dengan demikian, makalah ini akan membahas tentang emosi dan hubungan dengan agama. Semoga makalah ini bermanfaat.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian emosi itu?
2.      Apa saja macam- macam teori emosi itu?
3.      Bagaimana urgensinya emosi dalam agama?
4.      Bagaimana peran kecerdasan emosi dalam psikologi agama?

C.    Tujuan Masalah
1.       Untuk mengetahui pengertian emosi.
2.      Untuk mengetahui macam- macam teori emosi.
3.      Untuk mengetahui urgensinya/pentingnya emosi dalam agama.
4.      Untuk mengerahui peran kecerdasan emosi dalam psikologi agama



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian emosi
            Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis.
            Pada umumnya perbuatan kita sehari-hari disertai oleh perasaan-perasaan tertentu, yaitu perasaan senang atau perasaan tidak senang. Perasaan senang atau tidak senang yang selalu menyertai perbuatan-pebuatan kita sehari-hari itu, disebut warna efektif. Warna efektif ini terkadang kuat, terkadang lemah atau samar-samar saja. Dalam hal warna efektif yang kuat, maka perasaan-perasaan menjadi lebih mendalam, lebih luas dan lebih terarah. Perasaan-perasaan seperti ini yang disebut emosi. Beberapa macam emosi antara lain : gembira, bahagia, terkejut, jemu,benci, was-was dll.
            Perbedaan antara perasaan dan emosi tidak dapat dinyatakan dengan tegas, karena keduanya merupakan suatu kelangsungan kualitatif yang tidak jelas batasnya. Pada suatu saat tertentu, suatu warna efektif dapat dikatakan sebagai perasaan, tetapi juga dapat dikatakan sebagai emosi. Jadi, sukar sekali mendefinisikan emosi. Oleh karena itu, yang dimaksudkan dengan emosi disini bukan terbatas pada emosi atau perasaan saja, tetapi meliputi setiap keadaan diri seseorang yang disertai warna efektif, baik pada tingkat yang lemah (dangkal) maupun pada tingkat yang kuat (mendalam).
 B.     Teori-teori emosi
            Ada dua macam pendapat tentang terjadinya emosi. Pndapat tentang nativistik mengatakan bahwa emosi-emosi itu pada dasarnya merupakan bawaan sejak lahir, sedangkan pendapat empiristik mengatakan bahwa emosi dibentuk oleh pengalaman dan proses belajar.
            Salah satu pengikut paham nativistik adalah rene descartes (1596-1650). Ia mengatakan bahwa manusia sejak lahirnya telah mempunyai enam emosi dasar yaitu : cinta, kegembiraan, keinginan, benci, sedih, dan kagum.
            Di pihak kaum empiristik dapat kita catat nama-nama wiliam james (1842-1910, Amerika Serikat) dan Carl Lange (Denmark). Kedua orang ini menyusun suatu teori yang dinamakan teori James-Lange. Menurut teori ini, emosi adalah hasil persepsi seseorang terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh sebagai respon terhadap rangsangan-rangsangan yaangdatang dari luar.
C.    Pentingnya faktor emosi dalam agama
            Factor yang membantu pembentukan sikap keagamaan adalah system pengalaman emosional yang dimiliki setiap orang dalam kaitanya dengan agama mereka. Maka, emosi memegang peranan penting dalam setiap tindak agama, karena tidak ada satu sikap atau tindak agama seseorang yang dapat dipahami tanpa mengindahkan emosinya.
            Berbicara tentang pengalaman keagamaan maka yang kita maksut bisa berupa pengalaman yang secara orisinal terjadi dalam kaitan bukan keagamaan tetapi cenderung mengakibatkan perkembangan keyakinan keagamaan, atau suatu corak pengalaman yang timbul sebagai bagian dari perilaku keagamaan yang mungkin memperkuat, memperkaya, atau justru memodifikasi kepercayaan keagamaan yang sudah dianut sebelumnya.
                  Setiap orang dapat menafsirkan kesadarannya dengan berbagai kegiatan, misalnya menafsirkan kesadarannya secara teistik dan mengatakan, misalnya bahwa dia telah “melakukan komunikasi dengan Tuhan”, meskipun pengalaman itu tidak menutup kemungkinan untuk dijelaskan secara berbeda. Sejumlah orang akan menolak penafsiran tersebut berdasarkan pengalaman yang kontradiktif, seperti:
1.      Perasaan orang bahwa dia melakukan kontak langsung dengan realitas-ealitas adikodrati bisa juga terjadi menggunakan minuman-minuman tertentu yang memabukkan. Salah sutu jenis minuman yang digunakan eksperimen oleh William James pada zaman kuno adalah nitrous oxide (oksida nitrat). Ia melaporkan pengalamannya dalam bukunya Varietes of Religious Experience bahwa semua yang berlawanan dengan dunia nyata tampak meleleh menjadi satu kesatuan. Dia cenderung berpendapat bahwa hal ini bukan ilusi semsta-mata yang ditimbulkan oleh minuman yang memabukkan tersebut, melainkan suatu pengalaman yang yang salah satu aspek realitasnya tersembunyi di luarkesadaran kita sehari-hari.
2.      James juga melaporkan dalam pengalamannya J.A. Symonds dengan senyawa chloroform. Ini terjadi dalam suatu operasi dan bukan sebagai bagian dari eksperimen psikologik. Symonds melukiskan bagaimana, dalam pengaruh anesthesia jiwanya  yang menyinari saya.” Emudian dia melukiskan ketakutan yang ditimbulkan kekecewaannya ketika secara berangsur-angsur dia terjaga dari anestesianya dan kembali normal pada kesadarannya.
            Mengenai obat bius dapat memberikan penglihatan kedalam realitas dengan melenyapkan beberapa penghalang dibantah oleh Aldous Huxley dari beberapa pengalaman yang dia peroleh dengan senyawa mescalin, obat bius yang dibuat dari peyote (Laphophora wiliamsi) yaitu tanaman kaktus tidak berduri yang terdapat di mexico.dalam lembaga keagamaan, peyote itu dikulum selama peribadatan berlangsung semalam suntuk setelah melakukan penyucian jasmani dan ruhani. Hasil yang didapat konon mencakup tidak hanya pencerahan yang mempesonakan, tetapi juga perolehan beberapa kebaikan abadi seperti kerendahan hati, kesabaran dan rasa cinta kepada perilaku yang baik.
Ada peribadatan- peribadatan keagamaan lainnya yang juga dapat menimbulkan pengalaman- pengalaman emosional pada para pelakunya meskipun hal ini bukan merupakan tujuan utamanya. Tanpa adanya pengalaman emosional peribadatan- peribadatan itu agak terasa agak kosong dan bersifat formal semata- mata. Pengamat dari luar yang m,enyaksikan berbagai peribadatan agama mungkin cenderung berkomentar. “ sebenarnya (peribadatan) ini tidak lebih daripada upacara yang tidak memiliki makna apa- apa.” Alas an yang dikemukakakn untuk memberikan penilaian ini barangkali  adalah bahwa dia melihat peribadatan- peribadatan agama ini dari aspek ekternalnya tanpa mengalami sendiri pengalaman emosional yang memberikan arti penting kepada para pelaku peribatan itu. Penilaian seperti itu selayaknya tidak dikemukakan olehb para ahli psikologi yang ingin memahami bahwa dimana para pelaku peribadatan itu sendiri mungkin banyak juga upacara keagamaan yang tidak bermakna.
Yang tampak begitu sederhana dimata pengamat dari luar barang kali sarat dengan makna efektif (emosional) bagi para pelakunya. Dalam upacara berdoa atau dalam pemberian korban, diduga keras ada kesadaran kuat akan kehadiran dan komunikasi dengan tuhan, dan pengalaman-pengalaman ini mungkin efektif untuk menghilangkan ketegangan dan menumbuhkan perasaan damai dan kebahagiaan.
            Pengalaman-pengalaman seperti itu bisa timbul dari berbagai macam peribadatan yang secara prisipal tidak berusaha menimbulkan tanggapan emosional. Namun ada peribadatan-peribatan keagamaan lainnya yang ditunjukan untuk mengintensifkan pengalaman – pengalaman emosional pelakunya. Tujuan ini mendapat penilaian berbeda-beda pada setiap tradisi keagamaan, sebagian beranggapan bahwa perasaan-perasaan para pelaku peribadatan itu hanya memiliki makna sekunder, sedangkan agama-agama lain yang berusaha menimbulkan emosi yang kuat bisa beranggapan hal itu merupakan bukti akan turunnya “Ruh”. Terlepas dari masalah penggunaan obat-obat bius seperti peyote yang kadang-kadang dilakukan orang, unsur-unsur utama yang dapat menimbulkan pengalaman emosional selama peribadatan keagamaan itu berlangsung tampaknya ada rangkaian upacaranya sendiri, musik yang dimainkan dan khutbah emosional yang disampaikan di situ.
            Lembaga-lembaga keagamaan yang mempergunakan upacara yang tertata rapi dalam peribadatannya tidak selau beranggapan bahwa dampak-dampak emosional upacara ini terhadap para pelakunya merupakan sesuatu yang mempunyai makna primer. Namun demikian, dampak-dampak semacam itu bisa terjadi dan boleh jadi benar-benar memiliki makna bagi para pelakunya. Peribadatan yang khidmat, bau – bauan yang harum dari ramuan tertentu yang dibakar, berbagai jubah keupacaraan, dan banyaknya lilin yang dinyalakan pada Misa di gereja katholik Romawi atau gereja Timur semuanya dapat menimbulkan atau mengintensifkan perasaan-perasaan khidmat para peserta peribadatan itu. Beberapa gerakan seperti berdiri atau berlutut dalam doa ( sholat dalam islam) tidak hanya bisa melambangkan sikap-sikap hormat dan tunduk; tetapi juga dapat menimbulkan berbagai emosi yang sesuai denga sikap-sikap ini.
D.    Peran Kecerdasan Emosi Dalam Psikologi Agama  
1.      Definisi Kecerdasan Emosional (EQ)
                        Secara harfiah kecerdasan bersal dari kata cerdas, yang berarti sempurna perkembangan akal budinya, pandai dan tajam pikiranya. Selain itu dapat pula berarti sempurna pertumbuhan tubuhnya seperti sehat dan kuat fisiknya. Sedangkan kata emosional  berasal dari bahasa inggris, yaitu emotion yang berarti keibaan hati, suara yang mengandung emosi, pembelaan yang mengharukan, pembelaan yang penuh perasaan. Secara umum, emosi sering diartikan dorongan yang amat kuat dan cenderung mengarah kepada hal – hal yang kurang terpuji, seperti halnya emosi yang ada pada para remaja yang sedang goncang, Adapun para pakar psikologi memberikan definisi beragam pada Kecerdasan Emosional (EQ), Di antaranya:
·  Daniel Goleman, mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai “kemampuan mengenali perasaan diri kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain.”
·  Cooper dan Sawaf,  mendefinisikan bahwa kecerdasan emosional adalah “kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif mengaplikasikan kekuatan serta kecerdasan emosi sebagai sumber energi manusia, informasai, hubungan, dan pengaruh.”
·  Salovey dan Mayer, mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai “suatu kecerdasan social yang berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memantau dan mengendalikan perasaan dirinya dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan.”
                        Dari definisi – definisi kecerdasan emosional di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kecerdasan untuk memahami, mengenali, merasakan, mengelola, dan memimpin perasaan diri sendiri dan orang lain serta mengaplikasikannya dalam kehidupan pribadi dan social. Kecerdasan emosional mencakup kemampuan – kemampuan yang berbeda, tetapi saling melengkapi, dengan kecerdasan akademik (academic intelligence), yaitu kemampuan – kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ. Banyak orang yang cerdas, dalam arti terpelajar, tetapi tidak mempunyai kecerdasan emosi, ternyata bekerja menjadi bawahan orang yang ber-IQ lebih rendah tetapi unggul dalam keterampilan kecerdasan emosi.
2.      Ciri – Ciri Kecerdasan Emosional
                        Menurut Goleman, ada beberapa ciri pikiran emosional dalam kecerdasan emosional, di antaranya sebagai berikut :
1.      Respon pikiran emosional (emotional mind) itu jauh lebih cepat dari pikiran rasional (rational mind). Pikiran emosional itu lebih cepat dalam bertindak tanpa mempertimbangkan apa   yang dilakukannya. Tindakan yang muncul dari pikiran emosional membawa rasa kepastian yang kuat.       
2.      Emosi itu mendahului pikiran. Menurut Ekman, secara teknis, memuncaknya emosi itu berlangsung amat singkat, hanya dalam hitungan detik, bukan dalam hitungan menit, jam, atau hari.
3.      Logika emosional itu bersifat asosiatif
4.      Memposisikan masa lampau sebagai  masa sekarang. Akal emosional bereaksi terhadap keadaan sekarang seolah–olah keadaan itu adalah masa lampau.
3.      Peran Kecerdasan Emosional
                        Kecerdasan emosional sangat penting dalam menompang kelangsungan dan kesuksesan manusia dalam tugasnya. Peran IQ dalam keberhasilan di dunia kerja hanya menempati posisi kedua sesudah kecerdasan emosional dalam menentukan peraihan prestasi puncak dalam pekerjaan. Untuk itu para pelatihan pekerjaan saat ini banyak yang mengatakan bahwa kecerdasan emosional harus menjadi alasan mendasar dalam setiap pelatihan manajemen. Sehingga dengan kecerdasan emosional seseorang memungkinkan dapat bekerja sama membangun kemitraan yang saling menguntungkan dengan orang lain. Dengan cara demikian semakin terbuka berbagai kemungkinan yang dapat membawa kesuksesan. Dengan hal ini kita dapat mengatakan bahwa seseorang yang sukses dalam studinya dengan menjadi juara kelas atau meraih prestasi angka nilai yang tinggi dalam ujian di kelas, belum dapat menjamin kesuksesannya dalam bidang usaha, manakala tidak di imbangi dengan kecerdasan emosional.
                        Secara efektif kecerdasan emosional menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi, karena kecerdasan emosional bukanlah muncul dari pemikiran intelek yang jernih tetapi dari perasaan hati manusia. Dan kecerdasan emosionallah yang memotivasi kita untuk mencari manfaat, mengaktifkan aspirasi, dan nilai – nilai kita yang paling dalam. Sehingga mengubahnya dari apa yang kita pikirkan menjadi apa yang kita jalani. Di antara dimensi EQ, yang mempunyai ikatan erat dengan keberhasilan dalam berdagang dan bekerja adalah kemampuan manusia dalam berintegrasi dengan perasaan emosinya, serta kemampuan beradaptasi dengan kesulitan dan kepelikan masalah yang dihadapinya. EQ membantu manusia untuk menentukan kapan dan di mana ia bisa mengungkapkan perasaan dan emosinya. EQ juga membantu manusia mengarahkan dan mengendalikan emosinya.
                        Dalam konteks hubungan emosi dan motivasi, tindakan memotivasi harus dilakukan dengan menyentuh emosi. Karena emosi yang negatif akan melahirkan tindakan yang negatif pula. Begitu juga sebaliknya, emosi yang positif akan akan melahirkan tindakan yang positif pula (Dean R. Spitzer,1995).
                        Mendalamnya makna kecerdasan emosional akan dapat dipahami ketika kita sudah sampai pada kesimpulan dibutuhkannya kecakapan dalam menangani emosi, menyelesaikan pertengkaran secara damai, dan bergaul biasa. Sedangkan inti kecerdasan emosional menurut Goleman adalah pengenalan atau kesadaran diri, yakni kesadaran akan perasaan diri sendiri sewaktu perasaan itu timbul. Menurutnya kesadaran diri bukanlah perhatian yang larut dalam emosi atau bereaksi secara berlebihan. Kecerdasan diri lebih merupakan modus netral yang mempertahankan refleksi diri bahkan di tengah badai emosi. Begitulah makna dan pentingnya kecerdasan emosional.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak.
2.      Ada dua macam pendapat tentang terjadinya emosi. Pndapat tentang nativistik mengatakan bahwa emosi-emosi itu pada dasarnya merupakan bawaan sejak lahir, sedangkan pendapat empiristik mengatakan bahwa emosi dibentuk oleh pengalaman dan proses belajar.
3.      Seperti sudah dikemukakan sebelumnya bahwa salah satu faktor yang membantu pembentukan sikap keagamaan adalah sistem pengalaman sosial yang dimiliki setiap orang dalam kaitannya dengan agama mereka. Factor yang membantu pembentukan sikap keagamaan adalah system pengalaman emosional yang dimiliki setiap orang dalam kaitanya dengan agama mereka. Maka, emosi memegang peranan penting dalam setiap tindak agama, karena tidak ada satu sikap atau tindak agama seseorang yang dapat dipahami tanpa mengindahkan emosinya. Ada peribadatan- peribadatan keagamaan lainnya yang juga dapat menimbulkan pengalaman- pengalaman emosional pada para pelakunya meskipun hal ini bukan merupakan tujuan utamanya. Tanpa adanya pengalaman emosional peribadatan- peribadatan itu agak terasa agak kosong dan bersifat formal semata- mata.
4.      kecerdasan emosional adalah kecerdasan untuk memahami, mengenali, merasakan, mengelola, dan memimpin perasaan diri sendiri dan orang lain serta mengaplikasikannya dalam kehidupan pribadi dan social. Kecerdasan emosional mencakup kemampuan – kemampuan yang berbeda, tetapi saling melengkapi, dengan kecerdasan akademik (academic intelligence), yaitu kemampuan – kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ. Banyak orang yang cerdas, dalam arti terpelajar, tetapi tidak mempunyai kecerdasan emosi, ternyata bekerja menjadi bawahan orang yang ber-IQ lebih rendah tetapi unggul dalam keterampilan kecerdasan emosi. Secara efektif kecerdasan emosional menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi, karena kecerdasan emosional bukanlah muncul dari pemikiran intelek yang jernih tetapi dari perasaan hati manusia.


DAFTAR PUSTAKA
Golemen Daniel 2000, emotional intelegence (terjemah), Jakarta, PT Gramedia Utama
Wirawan, Sarlito 1976, Pengantar Umum Psikologi, Cet-5, Jakarta, PT Bulan Bintang
Thoules, Robert 1992, Pengantar Psikologi Agama, Jakarta, PT Rajawali
Nata, Abudin 2003, manajemen Pendidikan, Jakarta, PT Gramedia
Golemen,Daniel 1999, Working With Intelegence, Jakarta; PT Gramedia
Efendi Agus 2005, revolusi kecerdasan Abad 21, Bandung; Anggota IKAPI
Mubayidh Makmun 2006, Kecerdasan & Kesehatan Emosional Anak, Jakarta; pustaka al-kautsar