BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Antara
dorongan dan emosi terdapat hibungan yang erat. Sebab, dorongan-dorongan
biasanya dibarengi dengan keadaan intuitif emosional. Ketika suatu dorongan
menjadi intens dan terhalang untuk bisa dipenuhi beberapa lama, biasanya ia
dibarengi dengan ketegangan dalam tubuh. Biasanya ia dibarengi oleh keadaan
intuitif yang kacau. Sedangkan pemenuhan dorongan biasanya dibarengi oleh
intuitif yang ceria. Selain itu juga, emosi mempengaruhi tingkah laku.
Sesungguhnya
tidak ada suatu tindakan manusia yang tidak dikendalikan oleh emosinya. Karena
itu mempelajari faktor emosional dalam agama itu sangatlah penting. Pengaruh
perasaan (emosi) terhadap agama jauh lebih besar daripada rasio (logika).
Banyak orang yang mengerti agama dan agama itu dapat diterima oleh pikirannya,
tetapi dalam pelaksanaannya ia sangat lemah. Kadang-kadang tidak sanggup
mengendalikannya. Dengan demikian, makalah ini akan membahas tentang emosi dan
hubungan dengan agama. Semoga makalah ini bermanfaat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian emosi itu?
2. Apa saja macam- macam teori emosi itu?
3. Bagaimana urgensinya emosi dalam agama?
4. Bagaimana peran kecerdasan emosi dalam psikologi agama?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian
emosi.
2. Untuk mengetahui macam- macam teori emosi.
3. Untuk mengetahui urgensinya/pentingnya emosi dalam agama.
4. Untuk mengerahui peran kecerdasan emosi dalam psikologi agama
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian emosi
Kata
emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti
kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam
emosi. Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan
biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi
pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi
terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi
gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi
terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis.
Pada
umumnya perbuatan kita sehari-hari disertai oleh perasaan-perasaan tertentu,
yaitu perasaan senang atau perasaan tidak senang. Perasaan senang atau tidak
senang yang selalu menyertai perbuatan-pebuatan kita sehari-hari itu, disebut
warna efektif. Warna efektif ini terkadang kuat, terkadang lemah atau
samar-samar saja. Dalam hal warna efektif yang kuat, maka perasaan-perasaan
menjadi lebih mendalam, lebih luas dan lebih terarah. Perasaan-perasaan seperti
ini yang disebut emosi. Beberapa macam emosi antara lain : gembira,
bahagia, terkejut, jemu,benci, was-was dll.
Perbedaan
antara perasaan dan emosi tidak dapat dinyatakan dengan tegas, karena keduanya
merupakan suatu kelangsungan kualitatif yang tidak jelas batasnya. Pada suatu
saat tertentu, suatu warna efektif dapat dikatakan sebagai perasaan, tetapi
juga dapat dikatakan sebagai emosi. Jadi, sukar sekali mendefinisikan emosi.
Oleh karena itu, yang dimaksudkan dengan emosi disini bukan terbatas pada emosi
atau perasaan saja, tetapi meliputi setiap keadaan diri seseorang yang disertai
warna efektif, baik pada tingkat yang lemah (dangkal) maupun pada tingkat yang
kuat (mendalam).
B.
Teori-teori emosi
Ada
dua macam pendapat tentang terjadinya emosi. Pndapat tentang nativistik
mengatakan bahwa emosi-emosi itu pada dasarnya merupakan bawaan sejak lahir,
sedangkan pendapat empiristik mengatakan bahwa emosi dibentuk oleh pengalaman
dan proses belajar.
Salah
satu pengikut paham nativistik adalah rene descartes (1596-1650). Ia mengatakan
bahwa manusia sejak lahirnya telah mempunyai enam emosi dasar yaitu : cinta,
kegembiraan, keinginan, benci, sedih, dan kagum.
Di
pihak kaum empiristik dapat kita catat nama-nama wiliam james (1842-1910,
Amerika Serikat) dan Carl Lange (Denmark). Kedua orang ini menyusun suatu teori
yang dinamakan teori James-Lange. Menurut teori ini, emosi adalah hasil
persepsi seseorang terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh sebagai
respon terhadap rangsangan-rangsangan yaangdatang dari luar.
C.
Pentingnya faktor emosi dalam agama
Factor
yang membantu pembentukan sikap keagamaan adalah system pengalaman emosional
yang dimiliki setiap orang dalam kaitanya dengan agama mereka. Maka, emosi
memegang peranan penting dalam setiap tindak agama, karena tidak ada satu sikap
atau tindak agama seseorang yang dapat dipahami tanpa mengindahkan emosinya.
Berbicara tentang pengalaman keagamaan maka yang kita maksut bisa berupa
pengalaman yang secara orisinal terjadi dalam kaitan bukan keagamaan tetapi
cenderung mengakibatkan perkembangan keyakinan keagamaan, atau suatu corak
pengalaman yang timbul sebagai bagian dari perilaku keagamaan yang mungkin
memperkuat, memperkaya, atau justru memodifikasi kepercayaan keagamaan yang
sudah dianut sebelumnya.
Setiap orang dapat menafsirkan kesadarannya dengan berbagai kegiatan, misalnya
menafsirkan kesadarannya secara teistik dan mengatakan, misalnya bahwa dia
telah “melakukan komunikasi dengan Tuhan”, meskipun pengalaman itu tidak
menutup kemungkinan untuk dijelaskan secara berbeda. Sejumlah orang akan
menolak penafsiran tersebut berdasarkan pengalaman yang kontradiktif, seperti:
1.
Perasaan
orang bahwa dia melakukan kontak langsung dengan realitas-ealitas adikodrati
bisa juga terjadi menggunakan minuman-minuman tertentu yang memabukkan. Salah
sutu jenis minuman yang digunakan eksperimen oleh William James pada zaman kuno
adalah nitrous oxide (oksida nitrat). Ia melaporkan pengalamannya dalam bukunya
Varietes of Religious Experience bahwa semua yang berlawanan dengan dunia nyata
tampak meleleh menjadi satu kesatuan. Dia cenderung berpendapat bahwa hal ini
bukan ilusi semsta-mata yang ditimbulkan oleh minuman yang memabukkan tersebut,
melainkan suatu pengalaman yang yang salah satu aspek realitasnya tersembunyi
di luarkesadaran kita sehari-hari.
2.
James
juga melaporkan dalam pengalamannya J.A. Symonds dengan senyawa chloroform. Ini
terjadi dalam suatu operasi dan bukan sebagai bagian dari eksperimen
psikologik. Symonds melukiskan bagaimana, dalam pengaruh anesthesia
jiwanya yang menyinari saya.” Emudian dia melukiskan ketakutan yang
ditimbulkan kekecewaannya ketika secara berangsur-angsur dia terjaga dari
anestesianya dan kembali normal pada kesadarannya.
Mengenai
obat bius dapat memberikan penglihatan kedalam realitas dengan melenyapkan
beberapa penghalang dibantah oleh Aldous Huxley dari beberapa pengalaman yang
dia peroleh dengan senyawa mescalin, obat bius yang dibuat dari peyote
(Laphophora wiliamsi) yaitu tanaman kaktus tidak berduri yang terdapat di
mexico.dalam lembaga keagamaan, peyote itu dikulum selama peribadatan
berlangsung semalam suntuk setelah melakukan penyucian jasmani dan ruhani.
Hasil yang didapat konon mencakup tidak hanya pencerahan yang mempesonakan,
tetapi juga perolehan beberapa kebaikan abadi seperti kerendahan hati,
kesabaran dan rasa cinta kepada perilaku yang baik.
Ada peribadatan- peribadatan keagamaan lainnya yang juga dapat menimbulkan
pengalaman- pengalaman emosional pada para pelakunya meskipun hal ini bukan
merupakan tujuan utamanya. Tanpa adanya pengalaman emosional peribadatan-
peribadatan itu agak terasa agak kosong dan bersifat formal semata- mata.
Pengamat dari luar yang m,enyaksikan berbagai peribadatan agama mungkin
cenderung berkomentar. “ sebenarnya (peribadatan) ini tidak lebih daripada
upacara yang tidak memiliki makna apa- apa.” Alas an yang dikemukakakn untuk
memberikan penilaian ini barangkali
adalah bahwa dia melihat peribadatan- peribadatan agama ini dari aspek
ekternalnya tanpa mengalami sendiri pengalaman emosional yang memberikan arti
penting kepada para pelaku peribatan itu. Penilaian seperti itu selayaknya
tidak dikemukakan olehb para ahli psikologi yang ingin memahami bahwa dimana
para pelaku peribadatan itu sendiri mungkin banyak juga upacara keagamaan yang
tidak bermakna.
Yang tampak begitu sederhana dimata pengamat dari luar barang kali sarat
dengan makna efektif (emosional) bagi para pelakunya. Dalam upacara berdoa atau
dalam pemberian korban, diduga keras ada kesadaran kuat akan kehadiran dan komunikasi
dengan tuhan, dan pengalaman-pengalaman ini mungkin efektif untuk menghilangkan
ketegangan dan menumbuhkan perasaan damai dan kebahagiaan.
Pengalaman-pengalaman seperti itu
bisa timbul dari berbagai macam peribadatan yang secara prisipal tidak berusaha
menimbulkan tanggapan emosional. Namun ada peribadatan-peribatan keagamaan
lainnya yang ditunjukan untuk mengintensifkan pengalaman – pengalaman emosional
pelakunya. Tujuan ini mendapat penilaian berbeda-beda pada setiap tradisi
keagamaan, sebagian beranggapan bahwa perasaan-perasaan para pelaku peribadatan
itu hanya memiliki makna sekunder, sedangkan agama-agama lain yang berusaha
menimbulkan emosi yang kuat bisa beranggapan hal itu merupakan bukti akan
turunnya “Ruh”. Terlepas dari masalah penggunaan obat-obat bius seperti peyote
yang kadang-kadang dilakukan orang, unsur-unsur utama yang dapat menimbulkan
pengalaman emosional selama peribadatan keagamaan itu berlangsung tampaknya ada
rangkaian upacaranya sendiri, musik yang dimainkan dan khutbah emosional yang
disampaikan di situ.
Lembaga-lembaga keagamaan yang
mempergunakan upacara yang tertata rapi dalam peribadatannya tidak selau
beranggapan bahwa dampak-dampak emosional upacara ini terhadap para pelakunya
merupakan sesuatu yang mempunyai makna primer. Namun demikian, dampak-dampak
semacam itu bisa terjadi dan boleh jadi benar-benar memiliki makna bagi para
pelakunya. Peribadatan yang khidmat, bau – bauan yang harum dari ramuan
tertentu yang dibakar, berbagai jubah keupacaraan, dan banyaknya lilin yang
dinyalakan pada Misa di gereja katholik Romawi atau gereja Timur semuanya dapat
menimbulkan atau mengintensifkan perasaan-perasaan khidmat para peserta
peribadatan itu. Beberapa gerakan seperti berdiri atau berlutut dalam doa (
sholat dalam islam) tidak hanya bisa melambangkan sikap-sikap hormat dan
tunduk; tetapi juga dapat menimbulkan berbagai emosi yang sesuai denga sikap-sikap ini.
D.
Peran Kecerdasan Emosi Dalam Psikologi Agama
1.
Definisi
Kecerdasan Emosional (EQ)
Secara harfiah
kecerdasan bersal dari kata cerdas, yang berarti sempurna perkembangan akal
budinya, pandai dan tajam pikiranya. Selain itu dapat pula berarti sempurna
pertumbuhan tubuhnya seperti sehat dan kuat fisiknya. Sedangkan kata
emosional berasal dari bahasa inggris,
yaitu emotion yang berarti keibaan hati, suara yang mengandung emosi, pembelaan
yang mengharukan, pembelaan yang penuh perasaan. Secara umum, emosi sering
diartikan dorongan yang amat kuat dan cenderung mengarah kepada hal – hal yang
kurang terpuji, seperti halnya emosi yang ada pada para remaja yang sedang
goncang, Adapun para pakar psikologi memberikan definisi beragam pada Kecerdasan
Emosional (EQ), Di antaranya:
· Daniel Goleman, mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai
“kemampuan mengenali perasaan diri kita sendiri dan perasaan orang lain,
kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik
pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain.”
· Cooper dan Sawaf,
mendefinisikan bahwa kecerdasan emosional adalah “kemampuan merasakan,
memahami, dan secara efektif mengaplikasikan kekuatan serta kecerdasan emosi
sebagai sumber energi manusia, informasai, hubungan, dan pengaruh.”
·
Salovey
dan Mayer, mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai “suatu kecerdasan social
yang berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memantau dan mengendalikan
perasaan dirinya dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk
memandu pikiran dan tindakan.”
Dari definisi – definisi
kecerdasan emosional di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional
adalah kecerdasan untuk memahami, mengenali, merasakan, mengelola, dan memimpin
perasaan diri sendiri dan orang lain serta mengaplikasikannya dalam kehidupan
pribadi dan social. Kecerdasan emosional mencakup kemampuan – kemampuan yang berbeda,
tetapi saling melengkapi, dengan kecerdasan akademik (academic intelligence),
yaitu kemampuan – kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ. Banyak orang
yang cerdas, dalam arti terpelajar, tetapi tidak mempunyai kecerdasan emosi,
ternyata bekerja menjadi bawahan orang yang ber-IQ lebih rendah tetapi unggul
dalam keterampilan kecerdasan emosi.
2.
Ciri
– Ciri Kecerdasan Emosional
Menurut Goleman, ada
beberapa ciri pikiran emosional dalam kecerdasan emosional, di antaranya
sebagai berikut :
1.
Respon
pikiran emosional (emotional mind) itu jauh lebih cepat dari pikiran rasional (rational
mind). Pikiran emosional itu lebih cepat dalam bertindak tanpa mempertimbangkan
apa yang dilakukannya. Tindakan yang
muncul dari pikiran emosional membawa rasa kepastian yang kuat.
2.
Emosi
itu mendahului pikiran. Menurut Ekman, secara teknis, memuncaknya emosi itu
berlangsung amat singkat, hanya dalam hitungan detik, bukan dalam hitungan
menit, jam, atau hari.
3.
Logika
emosional itu bersifat asosiatif
4.
Memposisikan
masa lampau sebagai masa sekarang. Akal
emosional bereaksi terhadap keadaan sekarang seolah–olah keadaan itu adalah
masa lampau.
3.
Peran
Kecerdasan Emosional
Kecerdasan
emosional sangat penting dalam menompang kelangsungan dan kesuksesan manusia
dalam tugasnya. Peran IQ dalam keberhasilan di dunia kerja hanya menempati
posisi kedua sesudah kecerdasan emosional dalam menentukan peraihan prestasi
puncak dalam pekerjaan. Untuk itu para pelatihan pekerjaan saat ini banyak yang
mengatakan bahwa kecerdasan emosional harus menjadi alasan mendasar dalam
setiap pelatihan manajemen. Sehingga dengan kecerdasan emosional seseorang
memungkinkan dapat bekerja sama membangun kemitraan yang saling menguntungkan
dengan orang lain. Dengan cara demikian semakin terbuka berbagai kemungkinan
yang dapat membawa kesuksesan. Dengan hal ini kita dapat mengatakan bahwa
seseorang yang sukses dalam studinya dengan menjadi juara kelas atau meraih
prestasi angka nilai yang tinggi dalam ujian di kelas, belum dapat menjamin
kesuksesannya dalam bidang usaha, manakala tidak di imbangi dengan kecerdasan
emosional.
Secara
efektif kecerdasan emosional menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber
energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi, karena kecerdasan
emosional bukanlah muncul dari pemikiran intelek yang jernih tetapi dari
perasaan hati manusia. Dan kecerdasan emosionallah yang memotivasi kita untuk
mencari manfaat, mengaktifkan aspirasi, dan nilai – nilai kita yang paling
dalam. Sehingga mengubahnya dari apa yang kita pikirkan menjadi apa yang kita
jalani. Di antara dimensi EQ, yang mempunyai ikatan erat dengan keberhasilan
dalam berdagang dan bekerja adalah kemampuan manusia dalam berintegrasi dengan
perasaan emosinya, serta kemampuan beradaptasi dengan kesulitan dan kepelikan
masalah yang dihadapinya. EQ membantu manusia untuk menentukan kapan dan di
mana ia bisa mengungkapkan perasaan dan emosinya. EQ juga membantu manusia mengarahkan
dan mengendalikan emosinya.
Dalam
konteks hubungan emosi dan motivasi, tindakan memotivasi harus dilakukan dengan
menyentuh emosi. Karena emosi yang negatif akan melahirkan tindakan yang
negatif pula. Begitu juga sebaliknya, emosi yang positif akan akan melahirkan
tindakan yang positif pula (Dean R. Spitzer,1995).
Mendalamnya
makna kecerdasan emosional akan dapat dipahami ketika kita sudah sampai pada
kesimpulan dibutuhkannya kecakapan dalam menangani emosi, menyelesaikan
pertengkaran secara damai, dan bergaul biasa. Sedangkan inti kecerdasan
emosional menurut Goleman adalah pengenalan atau kesadaran diri, yakni
kesadaran akan perasaan diri sendiri sewaktu perasaan itu timbul. Menurutnya
kesadaran diri bukanlah perhatian yang larut dalam emosi atau bereaksi secara
berlebihan. Kecerdasan diri lebih merupakan modus netral yang mempertahankan
refleksi diri bahkan di tengah badai emosi. Begitulah makna dan pentingnya
kecerdasan emosional.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Kata
emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh.
Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak
dalam emosi. Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu
keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.
Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak.
2.
Ada
dua macam pendapat tentang terjadinya emosi. Pndapat tentang nativistik
mengatakan bahwa emosi-emosi itu pada dasarnya merupakan bawaan sejak lahir,
sedangkan pendapat empiristik mengatakan bahwa emosi dibentuk oleh pengalaman
dan proses belajar.
3.
Seperti
sudah dikemukakan sebelumnya bahwa salah satu faktor yang membantu pembentukan
sikap keagamaan adalah sistem pengalaman sosial yang dimiliki setiap orang
dalam kaitannya dengan agama mereka. Factor yang
membantu pembentukan sikap keagamaan adalah system pengalaman emosional yang
dimiliki setiap orang dalam kaitanya dengan agama mereka. Maka, emosi memegang
peranan penting dalam setiap tindak agama, karena tidak ada satu sikap atau
tindak agama seseorang yang dapat dipahami tanpa mengindahkan emosinya. Ada peribadatan- peribadatan keagamaan lainnya yang juga
dapat menimbulkan pengalaman- pengalaman emosional pada para pelakunya meskipun
hal ini bukan merupakan tujuan utamanya. Tanpa adanya pengalaman emosional
peribadatan- peribadatan itu agak terasa agak kosong dan bersifat formal
semata- mata.
4.
kecerdasan
emosional adalah kecerdasan untuk memahami, mengenali, merasakan, mengelola,
dan memimpin perasaan diri sendiri dan orang lain serta mengaplikasikannya
dalam kehidupan pribadi dan social. Kecerdasan emosional mencakup kemampuan –
kemampuan yang berbeda, tetapi saling melengkapi, dengan kecerdasan akademik
(academic intelligence), yaitu kemampuan – kemampuan kognitif murni yang diukur
dengan IQ. Banyak orang yang cerdas, dalam arti terpelajar, tetapi tidak
mempunyai kecerdasan emosi, ternyata bekerja menjadi bawahan orang yang ber-IQ
lebih rendah tetapi unggul dalam keterampilan kecerdasan emosi. Secara efektif
kecerdasan emosional menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi,
informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi, karena kecerdasan emosional
bukanlah muncul dari pemikiran intelek yang jernih tetapi dari perasaan hati
manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Golemen Daniel 2000, emotional intelegence
(terjemah), Jakarta, PT Gramedia Utama
Wirawan,
Sarlito 1976, Pengantar Umum Psikologi, Cet-5, Jakarta, PT Bulan Bintang
Thoules,
Robert 1992, Pengantar Psikologi Agama, Jakarta, PT Rajawali
Nata,
Abudin 2003, manajemen Pendidikan, Jakarta, PT Gramedia
Golemen,Daniel
1999, Working With Intelegence, Jakarta; PT Gramedia
Efendi
Agus 2005, revolusi kecerdasan Abad 21, Bandung; Anggota IKAPI
Mubayidh
Makmun 2006, Kecerdasan & Kesehatan Emosional Anak, Jakarta; pustaka
al-kautsar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar