Rabu, 16 Juli 2014

EMOSI DAN AGAMA

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Antara dorongan dan emosi terdapat hibungan yang erat. Sebab, dorongan-dorongan biasanya dibarengi dengan keadaan intuitif emosional. Ketika suatu dorongan menjadi intens dan terhalang untuk bisa dipenuhi beberapa lama, biasanya ia dibarengi dengan ketegangan dalam tubuh. Biasanya ia dibarengi oleh keadaan intuitif yang kacau. Sedangkan pemenuhan dorongan biasanya dibarengi oleh intuitif yang ceria. Selain itu juga, emosi mempengaruhi tingkah laku.
            Sesungguhnya tidak ada suatu tindakan manusia yang tidak dikendalikan oleh emosinya. Karena itu mempelajari faktor emosional dalam agama itu sangatlah penting. Pengaruh perasaan (emosi) terhadap agama jauh lebih besar daripada rasio (logika). Banyak orang yang mengerti agama dan agama itu dapat diterima oleh pikirannya, tetapi dalam pelaksanaannya ia sangat lemah. Kadang-kadang tidak sanggup mengendalikannya. Dengan demikian, makalah ini akan membahas tentang emosi dan hubungan dengan agama. Semoga makalah ini bermanfaat.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian emosi itu?
2.      Apa saja macam- macam teori emosi itu?
3.      Bagaimana urgensinya emosi dalam agama?
4.      Bagaimana peran kecerdasan emosi dalam psikologi agama?

C.    Tujuan Masalah
1.       Untuk mengetahui pengertian emosi.
2.      Untuk mengetahui macam- macam teori emosi.
3.      Untuk mengetahui urgensinya/pentingnya emosi dalam agama.
4.      Untuk mengerahui peran kecerdasan emosi dalam psikologi agama



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian emosi
            Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis.
            Pada umumnya perbuatan kita sehari-hari disertai oleh perasaan-perasaan tertentu, yaitu perasaan senang atau perasaan tidak senang. Perasaan senang atau tidak senang yang selalu menyertai perbuatan-pebuatan kita sehari-hari itu, disebut warna efektif. Warna efektif ini terkadang kuat, terkadang lemah atau samar-samar saja. Dalam hal warna efektif yang kuat, maka perasaan-perasaan menjadi lebih mendalam, lebih luas dan lebih terarah. Perasaan-perasaan seperti ini yang disebut emosi. Beberapa macam emosi antara lain : gembira, bahagia, terkejut, jemu,benci, was-was dll.
            Perbedaan antara perasaan dan emosi tidak dapat dinyatakan dengan tegas, karena keduanya merupakan suatu kelangsungan kualitatif yang tidak jelas batasnya. Pada suatu saat tertentu, suatu warna efektif dapat dikatakan sebagai perasaan, tetapi juga dapat dikatakan sebagai emosi. Jadi, sukar sekali mendefinisikan emosi. Oleh karena itu, yang dimaksudkan dengan emosi disini bukan terbatas pada emosi atau perasaan saja, tetapi meliputi setiap keadaan diri seseorang yang disertai warna efektif, baik pada tingkat yang lemah (dangkal) maupun pada tingkat yang kuat (mendalam).
 B.     Teori-teori emosi
            Ada dua macam pendapat tentang terjadinya emosi. Pndapat tentang nativistik mengatakan bahwa emosi-emosi itu pada dasarnya merupakan bawaan sejak lahir, sedangkan pendapat empiristik mengatakan bahwa emosi dibentuk oleh pengalaman dan proses belajar.
            Salah satu pengikut paham nativistik adalah rene descartes (1596-1650). Ia mengatakan bahwa manusia sejak lahirnya telah mempunyai enam emosi dasar yaitu : cinta, kegembiraan, keinginan, benci, sedih, dan kagum.
            Di pihak kaum empiristik dapat kita catat nama-nama wiliam james (1842-1910, Amerika Serikat) dan Carl Lange (Denmark). Kedua orang ini menyusun suatu teori yang dinamakan teori James-Lange. Menurut teori ini, emosi adalah hasil persepsi seseorang terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh sebagai respon terhadap rangsangan-rangsangan yaangdatang dari luar.
C.    Pentingnya faktor emosi dalam agama
            Factor yang membantu pembentukan sikap keagamaan adalah system pengalaman emosional yang dimiliki setiap orang dalam kaitanya dengan agama mereka. Maka, emosi memegang peranan penting dalam setiap tindak agama, karena tidak ada satu sikap atau tindak agama seseorang yang dapat dipahami tanpa mengindahkan emosinya.
            Berbicara tentang pengalaman keagamaan maka yang kita maksut bisa berupa pengalaman yang secara orisinal terjadi dalam kaitan bukan keagamaan tetapi cenderung mengakibatkan perkembangan keyakinan keagamaan, atau suatu corak pengalaman yang timbul sebagai bagian dari perilaku keagamaan yang mungkin memperkuat, memperkaya, atau justru memodifikasi kepercayaan keagamaan yang sudah dianut sebelumnya.
                  Setiap orang dapat menafsirkan kesadarannya dengan berbagai kegiatan, misalnya menafsirkan kesadarannya secara teistik dan mengatakan, misalnya bahwa dia telah “melakukan komunikasi dengan Tuhan”, meskipun pengalaman itu tidak menutup kemungkinan untuk dijelaskan secara berbeda. Sejumlah orang akan menolak penafsiran tersebut berdasarkan pengalaman yang kontradiktif, seperti:
1.      Perasaan orang bahwa dia melakukan kontak langsung dengan realitas-ealitas adikodrati bisa juga terjadi menggunakan minuman-minuman tertentu yang memabukkan. Salah sutu jenis minuman yang digunakan eksperimen oleh William James pada zaman kuno adalah nitrous oxide (oksida nitrat). Ia melaporkan pengalamannya dalam bukunya Varietes of Religious Experience bahwa semua yang berlawanan dengan dunia nyata tampak meleleh menjadi satu kesatuan. Dia cenderung berpendapat bahwa hal ini bukan ilusi semsta-mata yang ditimbulkan oleh minuman yang memabukkan tersebut, melainkan suatu pengalaman yang yang salah satu aspek realitasnya tersembunyi di luarkesadaran kita sehari-hari.
2.      James juga melaporkan dalam pengalamannya J.A. Symonds dengan senyawa chloroform. Ini terjadi dalam suatu operasi dan bukan sebagai bagian dari eksperimen psikologik. Symonds melukiskan bagaimana, dalam pengaruh anesthesia jiwanya  yang menyinari saya.” Emudian dia melukiskan ketakutan yang ditimbulkan kekecewaannya ketika secara berangsur-angsur dia terjaga dari anestesianya dan kembali normal pada kesadarannya.
            Mengenai obat bius dapat memberikan penglihatan kedalam realitas dengan melenyapkan beberapa penghalang dibantah oleh Aldous Huxley dari beberapa pengalaman yang dia peroleh dengan senyawa mescalin, obat bius yang dibuat dari peyote (Laphophora wiliamsi) yaitu tanaman kaktus tidak berduri yang terdapat di mexico.dalam lembaga keagamaan, peyote itu dikulum selama peribadatan berlangsung semalam suntuk setelah melakukan penyucian jasmani dan ruhani. Hasil yang didapat konon mencakup tidak hanya pencerahan yang mempesonakan, tetapi juga perolehan beberapa kebaikan abadi seperti kerendahan hati, kesabaran dan rasa cinta kepada perilaku yang baik.
Ada peribadatan- peribadatan keagamaan lainnya yang juga dapat menimbulkan pengalaman- pengalaman emosional pada para pelakunya meskipun hal ini bukan merupakan tujuan utamanya. Tanpa adanya pengalaman emosional peribadatan- peribadatan itu agak terasa agak kosong dan bersifat formal semata- mata. Pengamat dari luar yang m,enyaksikan berbagai peribadatan agama mungkin cenderung berkomentar. “ sebenarnya (peribadatan) ini tidak lebih daripada upacara yang tidak memiliki makna apa- apa.” Alas an yang dikemukakakn untuk memberikan penilaian ini barangkali  adalah bahwa dia melihat peribadatan- peribadatan agama ini dari aspek ekternalnya tanpa mengalami sendiri pengalaman emosional yang memberikan arti penting kepada para pelaku peribatan itu. Penilaian seperti itu selayaknya tidak dikemukakan olehb para ahli psikologi yang ingin memahami bahwa dimana para pelaku peribadatan itu sendiri mungkin banyak juga upacara keagamaan yang tidak bermakna.
Yang tampak begitu sederhana dimata pengamat dari luar barang kali sarat dengan makna efektif (emosional) bagi para pelakunya. Dalam upacara berdoa atau dalam pemberian korban, diduga keras ada kesadaran kuat akan kehadiran dan komunikasi dengan tuhan, dan pengalaman-pengalaman ini mungkin efektif untuk menghilangkan ketegangan dan menumbuhkan perasaan damai dan kebahagiaan.
            Pengalaman-pengalaman seperti itu bisa timbul dari berbagai macam peribadatan yang secara prisipal tidak berusaha menimbulkan tanggapan emosional. Namun ada peribadatan-peribatan keagamaan lainnya yang ditunjukan untuk mengintensifkan pengalaman – pengalaman emosional pelakunya. Tujuan ini mendapat penilaian berbeda-beda pada setiap tradisi keagamaan, sebagian beranggapan bahwa perasaan-perasaan para pelaku peribadatan itu hanya memiliki makna sekunder, sedangkan agama-agama lain yang berusaha menimbulkan emosi yang kuat bisa beranggapan hal itu merupakan bukti akan turunnya “Ruh”. Terlepas dari masalah penggunaan obat-obat bius seperti peyote yang kadang-kadang dilakukan orang, unsur-unsur utama yang dapat menimbulkan pengalaman emosional selama peribadatan keagamaan itu berlangsung tampaknya ada rangkaian upacaranya sendiri, musik yang dimainkan dan khutbah emosional yang disampaikan di situ.
            Lembaga-lembaga keagamaan yang mempergunakan upacara yang tertata rapi dalam peribadatannya tidak selau beranggapan bahwa dampak-dampak emosional upacara ini terhadap para pelakunya merupakan sesuatu yang mempunyai makna primer. Namun demikian, dampak-dampak semacam itu bisa terjadi dan boleh jadi benar-benar memiliki makna bagi para pelakunya. Peribadatan yang khidmat, bau – bauan yang harum dari ramuan tertentu yang dibakar, berbagai jubah keupacaraan, dan banyaknya lilin yang dinyalakan pada Misa di gereja katholik Romawi atau gereja Timur semuanya dapat menimbulkan atau mengintensifkan perasaan-perasaan khidmat para peserta peribadatan itu. Beberapa gerakan seperti berdiri atau berlutut dalam doa ( sholat dalam islam) tidak hanya bisa melambangkan sikap-sikap hormat dan tunduk; tetapi juga dapat menimbulkan berbagai emosi yang sesuai denga sikap-sikap ini.
D.    Peran Kecerdasan Emosi Dalam Psikologi Agama  
1.      Definisi Kecerdasan Emosional (EQ)
                        Secara harfiah kecerdasan bersal dari kata cerdas, yang berarti sempurna perkembangan akal budinya, pandai dan tajam pikiranya. Selain itu dapat pula berarti sempurna pertumbuhan tubuhnya seperti sehat dan kuat fisiknya. Sedangkan kata emosional  berasal dari bahasa inggris, yaitu emotion yang berarti keibaan hati, suara yang mengandung emosi, pembelaan yang mengharukan, pembelaan yang penuh perasaan. Secara umum, emosi sering diartikan dorongan yang amat kuat dan cenderung mengarah kepada hal – hal yang kurang terpuji, seperti halnya emosi yang ada pada para remaja yang sedang goncang, Adapun para pakar psikologi memberikan definisi beragam pada Kecerdasan Emosional (EQ), Di antaranya:
·  Daniel Goleman, mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai “kemampuan mengenali perasaan diri kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain.”
·  Cooper dan Sawaf,  mendefinisikan bahwa kecerdasan emosional adalah “kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif mengaplikasikan kekuatan serta kecerdasan emosi sebagai sumber energi manusia, informasai, hubungan, dan pengaruh.”
·  Salovey dan Mayer, mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai “suatu kecerdasan social yang berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memantau dan mengendalikan perasaan dirinya dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan.”
                        Dari definisi – definisi kecerdasan emosional di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kecerdasan untuk memahami, mengenali, merasakan, mengelola, dan memimpin perasaan diri sendiri dan orang lain serta mengaplikasikannya dalam kehidupan pribadi dan social. Kecerdasan emosional mencakup kemampuan – kemampuan yang berbeda, tetapi saling melengkapi, dengan kecerdasan akademik (academic intelligence), yaitu kemampuan – kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ. Banyak orang yang cerdas, dalam arti terpelajar, tetapi tidak mempunyai kecerdasan emosi, ternyata bekerja menjadi bawahan orang yang ber-IQ lebih rendah tetapi unggul dalam keterampilan kecerdasan emosi.
2.      Ciri – Ciri Kecerdasan Emosional
                        Menurut Goleman, ada beberapa ciri pikiran emosional dalam kecerdasan emosional, di antaranya sebagai berikut :
1.      Respon pikiran emosional (emotional mind) itu jauh lebih cepat dari pikiran rasional (rational mind). Pikiran emosional itu lebih cepat dalam bertindak tanpa mempertimbangkan apa   yang dilakukannya. Tindakan yang muncul dari pikiran emosional membawa rasa kepastian yang kuat.       
2.      Emosi itu mendahului pikiran. Menurut Ekman, secara teknis, memuncaknya emosi itu berlangsung amat singkat, hanya dalam hitungan detik, bukan dalam hitungan menit, jam, atau hari.
3.      Logika emosional itu bersifat asosiatif
4.      Memposisikan masa lampau sebagai  masa sekarang. Akal emosional bereaksi terhadap keadaan sekarang seolah–olah keadaan itu adalah masa lampau.
3.      Peran Kecerdasan Emosional
                        Kecerdasan emosional sangat penting dalam menompang kelangsungan dan kesuksesan manusia dalam tugasnya. Peran IQ dalam keberhasilan di dunia kerja hanya menempati posisi kedua sesudah kecerdasan emosional dalam menentukan peraihan prestasi puncak dalam pekerjaan. Untuk itu para pelatihan pekerjaan saat ini banyak yang mengatakan bahwa kecerdasan emosional harus menjadi alasan mendasar dalam setiap pelatihan manajemen. Sehingga dengan kecerdasan emosional seseorang memungkinkan dapat bekerja sama membangun kemitraan yang saling menguntungkan dengan orang lain. Dengan cara demikian semakin terbuka berbagai kemungkinan yang dapat membawa kesuksesan. Dengan hal ini kita dapat mengatakan bahwa seseorang yang sukses dalam studinya dengan menjadi juara kelas atau meraih prestasi angka nilai yang tinggi dalam ujian di kelas, belum dapat menjamin kesuksesannya dalam bidang usaha, manakala tidak di imbangi dengan kecerdasan emosional.
                        Secara efektif kecerdasan emosional menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi, karena kecerdasan emosional bukanlah muncul dari pemikiran intelek yang jernih tetapi dari perasaan hati manusia. Dan kecerdasan emosionallah yang memotivasi kita untuk mencari manfaat, mengaktifkan aspirasi, dan nilai – nilai kita yang paling dalam. Sehingga mengubahnya dari apa yang kita pikirkan menjadi apa yang kita jalani. Di antara dimensi EQ, yang mempunyai ikatan erat dengan keberhasilan dalam berdagang dan bekerja adalah kemampuan manusia dalam berintegrasi dengan perasaan emosinya, serta kemampuan beradaptasi dengan kesulitan dan kepelikan masalah yang dihadapinya. EQ membantu manusia untuk menentukan kapan dan di mana ia bisa mengungkapkan perasaan dan emosinya. EQ juga membantu manusia mengarahkan dan mengendalikan emosinya.
                        Dalam konteks hubungan emosi dan motivasi, tindakan memotivasi harus dilakukan dengan menyentuh emosi. Karena emosi yang negatif akan melahirkan tindakan yang negatif pula. Begitu juga sebaliknya, emosi yang positif akan akan melahirkan tindakan yang positif pula (Dean R. Spitzer,1995).
                        Mendalamnya makna kecerdasan emosional akan dapat dipahami ketika kita sudah sampai pada kesimpulan dibutuhkannya kecakapan dalam menangani emosi, menyelesaikan pertengkaran secara damai, dan bergaul biasa. Sedangkan inti kecerdasan emosional menurut Goleman adalah pengenalan atau kesadaran diri, yakni kesadaran akan perasaan diri sendiri sewaktu perasaan itu timbul. Menurutnya kesadaran diri bukanlah perhatian yang larut dalam emosi atau bereaksi secara berlebihan. Kecerdasan diri lebih merupakan modus netral yang mempertahankan refleksi diri bahkan di tengah badai emosi. Begitulah makna dan pentingnya kecerdasan emosional.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak.
2.      Ada dua macam pendapat tentang terjadinya emosi. Pndapat tentang nativistik mengatakan bahwa emosi-emosi itu pada dasarnya merupakan bawaan sejak lahir, sedangkan pendapat empiristik mengatakan bahwa emosi dibentuk oleh pengalaman dan proses belajar.
3.      Seperti sudah dikemukakan sebelumnya bahwa salah satu faktor yang membantu pembentukan sikap keagamaan adalah sistem pengalaman sosial yang dimiliki setiap orang dalam kaitannya dengan agama mereka. Factor yang membantu pembentukan sikap keagamaan adalah system pengalaman emosional yang dimiliki setiap orang dalam kaitanya dengan agama mereka. Maka, emosi memegang peranan penting dalam setiap tindak agama, karena tidak ada satu sikap atau tindak agama seseorang yang dapat dipahami tanpa mengindahkan emosinya. Ada peribadatan- peribadatan keagamaan lainnya yang juga dapat menimbulkan pengalaman- pengalaman emosional pada para pelakunya meskipun hal ini bukan merupakan tujuan utamanya. Tanpa adanya pengalaman emosional peribadatan- peribadatan itu agak terasa agak kosong dan bersifat formal semata- mata.
4.      kecerdasan emosional adalah kecerdasan untuk memahami, mengenali, merasakan, mengelola, dan memimpin perasaan diri sendiri dan orang lain serta mengaplikasikannya dalam kehidupan pribadi dan social. Kecerdasan emosional mencakup kemampuan – kemampuan yang berbeda, tetapi saling melengkapi, dengan kecerdasan akademik (academic intelligence), yaitu kemampuan – kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ. Banyak orang yang cerdas, dalam arti terpelajar, tetapi tidak mempunyai kecerdasan emosi, ternyata bekerja menjadi bawahan orang yang ber-IQ lebih rendah tetapi unggul dalam keterampilan kecerdasan emosi. Secara efektif kecerdasan emosional menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi, karena kecerdasan emosional bukanlah muncul dari pemikiran intelek yang jernih tetapi dari perasaan hati manusia.


DAFTAR PUSTAKA
Golemen Daniel 2000, emotional intelegence (terjemah), Jakarta, PT Gramedia Utama
Wirawan, Sarlito 1976, Pengantar Umum Psikologi, Cet-5, Jakarta, PT Bulan Bintang
Thoules, Robert 1992, Pengantar Psikologi Agama, Jakarta, PT Rajawali
Nata, Abudin 2003, manajemen Pendidikan, Jakarta, PT Gramedia
Golemen,Daniel 1999, Working With Intelegence, Jakarta; PT Gramedia
Efendi Agus 2005, revolusi kecerdasan Abad 21, Bandung; Anggota IKAPI
Mubayidh Makmun 2006, Kecerdasan & Kesehatan Emosional Anak, Jakarta; pustaka al-kautsar


Tidak ada komentar:

Posting Komentar